Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Stagnasi Pertumbuhan Ekonomi di Tahun Politik

Menjelang tahun politik, diperkirakan kinerja investasi akan terhambat karena mereka menunggu kepastian situasi politik dan siapa kandidat yang terpilih.
Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (6/3/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (6/3/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi perekonomian nasional di tahun 2024 diprediksi belum terlalu menggembirakan.

Bahkan, sejumlah lembaga internasional memproyeksikan ekonomi Indonesia akan cenderung stagnan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 sebesar 5,0% year-on-year (YoY).

Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 juga berada di kisaran 5,0% YoY.

Menjelang tahun politik, diperkirakan kinerja investasi akan terhambat karena mereka menunggu kepastian situasi politik dan siapa kandidat yang terpilih.

Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa setiap kali menjelang pemilihan umum (pemilu), para pelaku usaha cenderung mengerem ekspansi bisnisnya.

Penyelenggaraan pemilu yang lancar, dan proses pergantian kepemimpinan nasional berlangsung aman, maka kemungkinan akan kembali memacu perkembangan investasi dunia usaha.

Dalam RPJMN 2020-2024, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang direncanakan sesungguhnya sekitar 6%. Tetapi, melihat berbagai kondisi internal maupun global –seperti perang Rusia vs Ukraina yang tak kunjung usai dan juga konflik antara Israel vs Palestina yang baru saja pecah—, maka bisa dipastikan Indonesia makin sulit keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%.

FAKTOR PENYEBAB

Presiden Joko Widodo sendiri dalam Pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2024 pada 16 Agustus 2023 menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 sebesar 5,2%.

Di tengah situasi perlambatan ekonomi global dan resesi ekonomi di banyak negara, ada resiko target itu sulit dicapai dan bahkan mungkin lebih kecil dari 5%.

Dengan menetapkan target pertumbuhan tahun 2024 sebesar 5,2%, berarti rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir adalah 4,23%. Jauh lebih rendah dari target optimistis yang disampaikan Presiden Jokowi pada awal masa kepemimpinannya, yang mematok angka 7%.

Kalau berbicara soal daya beli, Indonesia masih tergolong beruntung karena daya beli masyarakat masih relatif terjaga. Ketika pandemi Covid-19 telah berangsur teratasi, mobilitas masyarakat pun kembali pulih, sehingga daya beli masyarakat pun ikut terkatrol naik.

Selama setahun terakhir, proses pemulihan ekonomi Indonesia tergolong baik. Bila dibandingkan benyak negara maju lain, kondisi perekonomian nasional masih lebih menggembirakan. Upaya pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi Covid-19, diakui atau tidak banyak terbantu oleh tingginya harga sejumlah komoditas unggulan, seperti batubara, nikel, kelapa sawit, dan sejumlah komoditas lainnya.

Masalahnya adalah ketika kenaikan harga berbagai komoditas itu mulai turun. Sekitar pertengahan 2023, kita bisa melihat bahwa harga dari berbagai komoditas penunjang proses pemulihan ekonomi Indonesia dilaporkan mulai mengalami penurunan. Indonesia tidak lagi bisa menikmati kenaikan harga komoditi unggulannya, kareena harga di pasaran pelan-pelan mulai tertata. Sementara itu, di sisi yang lain, kebijakan hilirasi yang dikembangkan ternyata belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan diperkirakan akan mengalami perlambatan. Sejumlah faktor yang menghambat peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah:

Pertama, berkaitan dengan kualitas regulasi yang belum berjalan seperti yang diharapkan. Meski pemerintah telah melakukan transformasi politik dan tata kelola negara, namun demikian kualitas kebijakan regulasi Indonesia harus diakui masih jauh tertinggal di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Banyak bukti mengajarkan regulasi yang tidak efisien dan efektif melahirkan biaya yang tinggi. Berbagai praktik moral hazard dan pengawasan yang lemah serta tidak konsistren menyebabkan regulasi yang diciptakan hanya menjadi macan di atas kertas.

Kedua, berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia. Berbeda dengan negara maju yang memiliki angkatan kerja yang mumpuni, di Indonesia kualitas SDM yang ada umumnya masih jauh dari layak. Baik dalam penguasaan keterampilan dan pendidikan, sebagian besar angkatan kerja yang ada masih kurang dan mismatch dengan kebutuhan dunia industri. Skor PISA Indonesia, misalnya dilaporkan selalu berada pada sepuluh peringkat terbawah. Skor untuk membaca, hitungan, dan sains Indonesia pada 2018 lalu masing-masing 371, 379, 398. Sementara rata-rata dunia masing-masing 487, 487, dan 489.

Ketiga, berkaitan dengan inefisiensi kinerja aparatur birokrasi di tanah air. Pengalaman telah banyak memperlihatkan ketika birokrasi masih rawan terkontaminasi praktik korupsi dan memperpanjang rantai birokrasi, maka resikonya aktivitas ekonomi menjadi berbiaya tinggi. Tidak sedikit investor yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia karena harus menghadapi kerja birokrasi yang berbelit. Di Indonesia, angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dilaporkan masih 6,2% pada 2022. Ini menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia masih berbiaya tinggi dan kurang efisien. ICOR juga menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang selama ini dikembnangkan masih belum mampu menurunkan biaya logistik.

Keempat, berkaitan dengan peran APBN dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kalau menurut kalkulasi Kementerian PPN/Bappenas, seharusnya setiap peningkatan anggaran belanja kementrian atau lembaga sebesar 1% akan memberikan dampak bagi angka pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%. Tetapi, dalam praktik apa yang terjadi justru sebaliknya. Pada tahun 2018 hingga 2019, misalnya tercatat terjadi peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 2,8%, tetapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi justru negatif 0,20%. Secara potensi, pada 2018 sampai 2019, dengan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat, dampak pada pertumbuhan ekonom nasional seharusnya 0,17%, tetapi faktanya justru negatif 0,20%. Inilah bukti bahwa peran APBN ternyata belum seperti yang diharapkan.

INVESTASI DAN PERTUMBUHAN

Untuk mendongkrak investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi sesuai target, pemerintah selama ini sudah berusaha memangkas berbagai aturan agar menciptakan iklim kemudahan berusaha dan investasi. Selain itu, pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola belanja negara, sehingga peran anggaran pembangunan yang dikucurkan ke masyarakat akan dapat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Memastikan berbagai upaya yang dilakukan benar-benar menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan, kuncinya tak pelak adalah komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Percuma berbagai aturan disederhanakan jika dalam praktik masih ada oknum aparatur birokrasi yang menyimpang.

Pelibatan masyarakat, pers dan stakeholder terkait dalam pengawasan pelaksanaan proses transformasi ekonomi harus benar-benar diwujudkan agar praktik-praktik moral hazard dapat dieliminasi. Tanpa ada kesungguhan dan pengawasan yang kuat, jangan harap ekonomi Indonesia di tahun 2024 dapat tumbuh sesuai target yang telah dipatok (*).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Bagong Suyanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper