Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menilai fenomena impor ilegal yang mengancam produk industri dalam negeri ditindak tegas dengan mengkategorikannya sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Ketua Umum Aprisindo Firman Bakri mengatakan pihaknya menyayangkan belum adanya penegakan hukum yang tegas, cenderung ringan, untuk menjera oknum impor ilegal.
"Kita butuh supaya kejahatan kepabeanan berupa impor ilegal harus ditingkatkan menjadi extraordinary crime dan segera dibentuk lembaga negara Komisi Pemberantasan Impor Ilegal," kata Firman kepada Bisnis, Senin (16/10/2023).
Hal ini dilakukan agar para oknum kapok dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Firman mencontohkan, salah satu kasus impor sepatu bekas ilegal pada awal 2023 lalu, di mana hanya 1 pelaku yang tertangkap dan diberi hukuman ringan.
Padahal, menurut Firman, kasus impor ilegal merupakan pembunuh industri nasional yang menyebabkan hilangnya kesejahteraan pekerja hingga merosotnya pertumbuhan industri pengolahan.
"Selama para pelaku impor ilegal belum diberantas, maka setiap kebijakan yang membatasi pelaku impor, dampaknya justru mencerai para pelaku industri yang taat hukum, karena impor mereka selalu bisa lolos dari jerat hukum yang ada," ujarnya.
Adapun, Firman mengacu pada aturan larangan terbatas (lartas) impor Border yang akan diberlakukan pemerintah dalam rangka pengetatan produk asing, sehingga tidak membanjiri pasar domestik.
Lalainya aturan penegakan hukum terhadap oknum impor ilegal memicu para pengusaha lokal semakin terjepit karena keterbatasan impor bahan baku. Padahal, tak sedikit dari brand tersebut yang berorientasi ekspor dengan nilai dan volume ekspor yang besar.
Adapun, beberapa brand lokal tersebut dinilai masih membutuhkan sebagian produk impor untuk diversifikasi produk maupun impor bahan baku. Bahkan tak sedikit yang telah mempekerjakan tenaga kerja lokal.
"Itupun diganggu maka akan ada potensi kita kehilangan pasar ekspor kita. Karena pelaku impor ilegal merusak pelaku yang baik, akhirnya justru impor ilegal semakin memiliki peluang pasar yang lebih luas lagi. Ujung-ujungnya, pelaku impor ilegal akan semakin tambah besar," pungkasnya.
Sebelumnya, Aprisindo mengkhawatirkan imbas kebijakan pemerintah untuk mengubah sistem lalu lintas barang impor dari pengawasan Post Border (di luar kawasan pabean) menjadi Border yang dapat memicu tingginya dwelling time atau waktu tunggu bongkar muat kontainer yang ditumpuk di terminal pelabuhan hingga keluar dari terminal.
"Perpindahan pengawasan dari post border ke border ini memiliki konsekuensi dwelling time, sehingga dengan adanya mekanisme lain, pilihan kebijakan ini jadi agak aneh," imbuhnya.
Adapun, menurut Firman, jika pemerintah bertujuan untuk menghambat impor, semestinya mekanisme lain berupa Persetujuan Impor (PI) sudah cukup untuk menahan volume barang berdasarkan izin impor.
Artinya, dengan atau tanpa dipindahkan mekanisme pengawasan dari post border ke border seharusnya PI bisa digunakan untuk mengendalikan impor.