Bisnis.com, JAKARTA – OECD atau Organisation for Economic Co-operation and Development secara resmi meluncurkan naskah terbaru konvensi multilateral (Multilateral Convention/MLC).
Naskah tersebut sebagai bekal untuk menerapkan amount A dalam Pilar I pajak global untuk mengoordinasikan realokasi hak pemajakan ke yurisdiksi pasar, meningkatkan kepastian perpajakan, dan menghapuskan pajak layanan digital.
Melansir dari laman resmi OECD, Kamis (12/10/2023), penerbitan konvensi ini membawa komunitas internasional selangkah lebih dekat ke arah finalisasi Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi dan globalisasi ekonomi. Adapun, MLC teranyar ini mencerminkan konsensus yang telah dicapai di antara para anggota Kerangka Kerja Inklusif.
Amount A dari Pilar I mengkoordinasikan realokasi hak pemajakan ke yurisdiksi pasar sehubungan dengan bagian keuntungan dari perusahaan multinasional terbesar dan paling menguntungkan yang beroperasi di pasar mereka, terlepas dari kehadiran fisik mereka.
MLC ini juga memastikan pencabutan dan mencegah proliferasi pajak layanan digital dan langkah-langkah serupa yang relevan, mengamankan mekanisme untuk menghindari pajak berganda, dan meningkatkan stabilitas dan kepastian dalam sistem pajak internasional.
MLC juga akan disampaikan kepada para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 dalam Laporan Pajak Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann yang baru menjelang pertemuan di sela-sela IMF-World Bank Annual Meeting 2023 di Maroko, 10 – 15 Oktober 2023.
Baca Juga
"Komunitas internasional telah bekerja sama dengan erat untuk menyelesaikan isu-isu teknis yang tersisa di balik kesepakatan penting mereka untuk mereformasi perpajakan internasional," ujar Cormann.
Di bawah Pilar Pertama, OECD melihat adanya potensi tambahan penerimaan pajak secara total di global senilai US$200 miliar setiap tahunnya yang bisa dialihkan ke negara pasar. Potensi kenaikan pajak secara global per tahun tercatat rata-rata di kisaran US$17 miliar—US$23 miliar.
Dalam analisis termutakhir dari OECD, menemukan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah diperkirakan akan mendapatkan keuntungan paling besar. Tidak serta merta, hanya perusahaan yang memenuhi aturan Nexus yang akan dipatok pajaknya.
Untuk Indonesia, sesuai dengan konsensus OECD, sepanjang perusahaan tidak memenuhi batas Nexus, yakni penghasilan 1 juta euro per tahun, maka pemerintah tidak akan mendapatkan distribusi pajak atau kehilangan basis pajak.
Dengan kata lain, harus ada perusahaan di Indonesia yang memiliki penghasilan 1 juta euro per tahun untuk dapat dikenakan pajak tersebut. Jika tidak ada, artinya tidak akan ada penambahan ke kantong kas negara.
Dengan demikian, seluruh negara termasuk Indonesia sudah bisa melakukan ratifikasi atas skema tersebut.
Sebelumnya, Indonesia telah bersiap untuk menerapkan Pilar I Pajak Global, namun masih menunggu kesepakatan dari MLC dari OECD.
Seperti diketahui, Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang memungkinkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, untuk mengatur pajak dari digitalisasi serta global minimum tax berdasarkan kesepakatan internasional.