Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI-AS dkk Masih Berhitung Dampak Proyek Transisi Energi JETP

Pemerintah Indonesia dan negara-negara pendonor masih mengevaluasi berbagai dampak dari proyek transisi energi yang akan didanai skema JETP
Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa
Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah bersama dengan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) tengah mengevaluasi berbagai dampak dari proyek transisi energi di Indonesia yang akan didanai dengan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar

Senior Programs Officer ADB Indonesia Resident Mission Andrew Franciscus mengatakan, evaluasi itu berkaitan dengan regulasi ketentuan tarif listrik energi baru terbarukan (EBT), dampak terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, hingga tingkat komponen dalam negeri (TKDN).  

“Saat ini rancangan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) sedang dikaji oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara terlibat mudah-mudahan dalam waktu ini bisa segera diimplementasikan sehingga ini bisa dikunci,” kata Andrew saat diskusi Bloomberg Technoz Ecofest 2023 di Jakarta, Rabu (27/9/2023). 

Andrew menuturkan, pemerintah turut menaruh perhatian khusus terhadap tarif listrik yang berpotensi naik saat migrasi pembangkit pada sumber EBT. Situasi itu, kata dia, bakal ikut memengaruhi keuangan PLN hingga harga jual akhir di tingkat konsumen. 

Di sisi lain, dia menuturkan, pemerintah turut mempertimbangkan soal batasan atas dari TKDN pengadaan barang dari realisasi dana transisi energi tersebut. 

“Sangat penting untuk pemerintah Indonesia namun juga sensitif adalah TKDN, apakah kita sudah siap industri lokalnya lalu bagaiamana pengaruhnya ini kalau kita melakukan pendanaan lewat luar negeri ini juga cukup krusial dan sensitif,” kata dia. 

Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$) dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.  

Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.   

Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.  

Perjanjian tersebut diteken pada November 2022 di Bali di sela-sela KTT G20, menyusul kemudian inisiasi Sekretariat JETP pada Februari 2023. Usai penundaan rilis rencana investasi JETP pada bulan lalu, pemerintah angkat bicara seputar nasib realisasinya. 

Sebelumnya, Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, negara-negara Barat sebenarnya belum siap mendanai pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Indonesia. Kurangnya konsensus mengenai rencana tersebut dapat berpotensi membuat pemangkasan emisi oleh PLTU di Indonesia semakin molor. 

"Selama diskusi terlihat sangat jelas bahwa mereka tidak bersemangat memberikan pembiayaan untuk pensiun dini," kata Septian, seperti dikutip dari Reuters, Senin (25/9/2023).

Koalisi negara-negara Barat yang berencana menggelontorkan US$20 miliar untuk membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi, telah menyatakan bahwa mereka lebih tertarik untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan komersial, yang menurut Seto tidak diperlukan. 

"Kami punya kelebihan listrik. Jadi kalau kami terus menambahkan energi terbarukan, itu akan berdampak pada anggaran kami,” kata Seto di sela-sela konferensi industri Coaltrans. Dia menambahkan bahwa Indonesia juga bisa membiayai sendiri proyek-proyek energi terbarukan jika diperlukan. 

"Tuntutan kami sangat jelas, yaitu penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan pembangunan jaringan listrik pintar (smart grid)," katanya. 

Indonesia, lanjut Seto, masih dalam diskusi untuk mencari pembiayaan bagi jaringan listrik pintar di bawah JETP. 

Jika merujuk pada JETP, Indonesia telah sepakat untuk membatasi dan mencapai puncak emisi karbon sektor ketenagalistrikan sebesar 290 juta metrik ton pada 2030, menyusul komitmen negara-negara barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang untuk memberikan dukungan keuangan melalui perpaduan investasi ekuitas, hibah, dan pinjaman lunak. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper