Bisnis.com, JAKARTA - Penurunan impor tak melulu memberikan sinyal positif bagi performa industri dalam negeri, terlebih jika impor bahan baku/penolong dan barang modal merosot signifikan. Kondisi ini justru disebut menjadi alarm untuk kinerja industri pengolahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong dan barang modal mengalami penurunan, sehingga kinerja impor secara keseluruhan merosot hingga 3,53 persen month-to-month (mtm) menjadi US$18,88 miliar.
Adapun, nilai impor bahan baku atau penolong menurun 4,13 persen dibandingkan dengan bulan lalu pada Agustus 2023 menjadi sebesar US$13,34 miliar, dari sebelumnya US$13,92 miliar. Begitu pun secara tahunan yang turun 20,39 persen year-on-year (yoy), pada 2022 nilai impor mencapai US$16,76 miliar.
Kondisi yang sama terjadi pada impor barang modal yang mengalami penurunan menjadi US$3,40 miliar. Adapun, angka tersebut turun 4,56 persen mtm dibandingkan dengan Juli 2023 sebesar US$3,56 miliar dan turun 3,97 persen yoy Agustus 2022 sebesar US$3,54 miliar.
Sebelumnya, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar mengatakan impor bahan baku menurun disebabkan penurunan impor minyak mentah, kondensat, dan bagian dari sirkuit terpadu elektronik. Untuk barang modal, impor menurun dikarenakan penurunan impor smartphone, peralatan mesin, mesin diverging, dan unit pengolahan lain untuk komputer.
Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai penurunan impor bahan baku dan barang modal dapat berpengaruh pada perusahaan industri yang berorientasi pada pasar ekspor dan domestik. Hal ini akan memicu tertahannya ekspansi manufaktur.
Baca Juga
"Memang yang harus diperhatikan adalah dari impor bahan baku, ini tidak selalu impor turun menjadi pertanda yang baik," kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (20/19/2023).
Terlebih, pasar ekspor saat ini tengah diterpa berbagai sentimen seperti pelemahan permintaan dari China, inflasi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, serta harga minyak mentah yang tinggi sehingga berpengaruh pada harga distribusi dan biaya logistis yang juga akan melonjak.
Bhima memproyeksikan berbagai dampak dari tekanan impor ini akan tecerminkan dalam 4-5 bulan ke depan. Dampak yang dimaksud berupa pengurangan kapasitas produksi, efisiensi, hingga penutupan pabrik.
"Pelaku usaha harus melihat pasar yang lebih prospek misalnya di pasar alternatif, apakah ke Afrika Utara atau ke Amerika Latin. Yang paling dekat pasar alternatif untuk ekspor itu sebenarnya ada di wilayah Asia Selatan dan Asean," tuturnya.
Di samping itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan penurunan impor bahan baku dan barang modal juga terindikasi oleh pelemahan ekonomi dunia. Adapun, pada 2022, volume pertumbuhan perdagangan dunia itu 2,7 persen. Sementara itu, pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar 1,7 persen.
Permintaan barang ekspor yang menurun, memberikan implikasi kepada perusahaan-perusahaan multinasional dengan kandungan impor yang tinggi. Secara otomatis, perusahaan tersebut akan mengurangi pembelian bahan baku dan barang modal, termasuk mesin. Kondisi ini juga berdampak pada penurunan utilitas.
"Normalnya utilisasi itu 70-80 persen, mungkin sekarang sekitar 60 persen. Rata-rata menurut saya di bawah 60 karena marketnya lagi turun," jelasnya.
Dampak lainnya yakni penurunan omzet dari para perusahaan berbasis ekspor, termasuk terhadap penerimaan pajak terutama bea keluar dan bea impor yang turun. Secara makroekonomi, sumbangan ekspor dan impor terhadap pertumbuhan nasional dapat terkontraksi.
"Ini yang kami perkirakan mengapa pada tahun ini pertumbuhan ekonomi kita bisa di bawah 5 persen, mungkin kalo kami menghitung sekitar 4,9 persen ya, meski pemerintah optimis 5,1 persen tapi kami yakin dengan gejala ini menunjukkan sektor perdagangan mengalami penurunan," pungkanya.