Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indeks Manufaktur Bersimpang Jalan, Kinerja Industri Menyusut

Meski indeks menyirtakan ekspansi, justru kontribusi industri pengolahan menyusut. Kinerja industri manufaktur masih bersandar kepada industri makanan minuman.
Pabrik Perusahaan petrokimia PT Polytama Propindo./ Perseroan.
Pabrik Perusahaan petrokimia PT Polytama Propindo./ Perseroan.

Bisnis.com, JAKARTA – Optimisme pelaku industri nasional masih dalam tren ekspansi, meski seiring hal tersebut  kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus susut.

Sebagaimana diketahui, Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia unggul dari negara-negara di kawasan Asia. Adapun, pada Agustus 2023 PMI RI menguat di level 53,9 atau naik 0,6 poin dari Juli 2023 di angka 53,3. Posisinya mengalahkan sejumlah negara seperti Korea Selatan (48,9), Jepang (49,6), Malaysia (51,9), Filipina (49,7). Thailand (48,9), dan China (49,2).

Selain level PMI yang menguat, indeks kepercayaan industri (IKI) yang dirilis Kementerian Perindustrian pada Agustus 2023 yang juga menunjukkan sinyal positif di angka 53,22 meski terjadi perlambatan 0,09 poin dari Juli 2023 dengan angka 53,31. Kendati pertumbuhan masih terlihat membaik, tantangan industri manufaktur RI masih diadang tantangan.

Salah satunya berkenaan dengan potensi penurunan penanaman modal asing (PMA) seiring dengan sikap konservatif dunia usaha menjelang pemilu. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan sentimen politik dapat mempengaruhi geliat investasi industri pengolahan.

Apalagi, Indef mencatat kepercayaan PMI Indonesia yang unggul dan memberikan persepsi bahwa industri akan membaik, tidak sejalan dengan pertumbuhan PDB industri, penerimaan pajak, dan kredit industri yang tumbuh melambat di semester pertama 2023.

Dalam catatannya, proporsi sektor industri pengolahan non-migas terhadap PDB Indonesia turun ke angka 4,56 persen pada kuartal II/2023 atau turun 0,5 poin dari kuartal pertama yakni 5 persen. Dari sisi penerimaan pajak sektoral semester I/2023 sebesar 8 persen atau lebih rendah dari tahun 2019 sebesar 12,40 persen. Di sisi lain, rasio kredit industri mengalami perlambatan sejak awal tahun 2023 dengan di bawah 10 persen.

Maka, pekerjaan besar yang mesti dilakukan pemangku kepentingan industri, baik dari para pelaku usaha dan regulator yakni menjaga daya saing di pasar, penetrasi pasar domestik yang perlu dimaksimalkan, hingga optimalisasi sektor unggulan yang dapat mendorong kinerja manufaktur.

"Sektor industri yang kuat adalah makan minum dan otomotif atau mesin. Yang potensial tetapi perlu investasi besar adalah kimia dan farmasi. Perlu jadi fokus pemerintah di sisa masa jabatan Jokowi," kata Berly kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.

Dalam hal ini, Berly merujuk pada data Indef yang menyebutkan kinerja industri mamin belum optimal. Kesalahan yang selama ini terjadi yakni struktur industri Indonesia yang timpang karena mengandalkan satu sektor penopang yakni mamin dengan kontribusi 35 persen terhadap PDB industri pengolahan, sedangkan sektor strategis lainnya di bawah 11-12 persen.

Untuk itu, dia menuturkan, industri mamin perlu dioptimalkan sembari mendorong kinerja sektor lain sehingga mamin tak lagi melulu menjadi penopang. Dia memproyeksi sektor mesin dan otomotif yang dapat mendongkrak pertumbuhan seiring dengan IKI sektor kendaraan bermotor yang berada di level ekspansi pada Agustus 2023.

 

Di sisi lain, Berly melihat adanya peluang pada industri kimia dan farmasi, kendati kontraksi kinerja masih berlanjut pascapemulihan. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai ekspor kimia anorganik ke India dan Kimia organik ke China dan AS di semester pertama. Selain itu, industri kimia masih dihadapkan pada harga gas yang naik hingga US$10 per MMBtu.

Adapun, potensi pertumbuhan mulai terungkit pasca diberlakukannya UU Kesehatan, di mana Kementerian Kesehatan kini akan ikut dalam mendorong ekosistem industri farmasi. Tak hanya itu, pemerintah juga mendorong kebijakan change source melalui program TKDN dan subtitusi impor yang menargetkan agar terjadinya penurunan impor hingga 20 persen terhadap bahan baku obat (BBO) yang paling banyak digunakan di Indonesia.

INDUSTRI MAKANAN MINUMAN

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman mengatakan industri mamin mencatatkan pertumbuhan yang moncer, hal ini tecermin dari skor indeks IKI yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada angka 61.

"Ini menunjukkan minat industri makanan dan minuman masih sangat tinggi, dan tentunya ini juga terkait dengan potensi pasar. Jadi 6 bulan ke depan survei IKI menunjukkan bahwa optimisme industriawan terus meningkat," kata Adhi.

Indeks tersebut menunjukkan laju industri yang masih ekspansif. Hal ini membuat industri mamin dipandang sebagai sektor yang cukup prospektif bagi investor domestik maupun mancanegara.

Adhi menilai industri makanan dan minuman cukup kebal dari dampak pandemi, sehingga pascapandemi pertumbuhannya mampu pulih dengan cepat. Adapun, pertumbuhan industri makanan dan minuman telah mendekati angka 5 persen.

Dia memproyeksikan hingga akhir tahun industri mamin dapat tumbuh di atas 5 persen, mengacu pada kondisi normal yang memiliki pertumbuhan pada 7 persen sampai dengan 10 persen.

Senada, Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar mengatakan meski masih dalam tahap pemulihan, industri makanan dan minuman berpotensi menjadi kontributor besar dalam meningkatkan level PMI.

"Dari sektor makanan dan minuman ini bisa jadi salah satu pendukung kenaikan PMI yang otomatis kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi lebih banyak," ujar Bobby.

INDUSTRI PETROKIMIA

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Industri Oliefin, Aromatik dan Plastik (Inaplas) Suhat Miyarso mengatakan kesiapan industri petrokimia untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan. Namun, masih terhambat oleh iklim investasi dalam hal perpajakan dan pengendalian impor hingga bahan baku.

Suhat menyinggung perihal perpanjangan masa kredit pajak pertambahan nilai (PPN) yang terbilang singkat untuk industri yakni maksimum 5 tahun. Sedangkan, dalam pembangunan fasilitas manufaktur petrokimia sendiri memerlukan waktu hingga 10 tahun.

 

"Ini ada gap antara yang diizinkan degan yang bisa dipenuhi atau yang bisa dilakukan oleh investor. Ini yang kita mintakan kepada pemerintah untuk di review, sehingga masa kredit PPN itu bisa diperpanjang, menjadi 10-15 tahun," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Berdasarkan PMK No 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama 3 tahun, dengan tambahan maksimal 2 tahun. Hal itu disebut sangat menyulitkan pengusaha yang akan berinvestasi.

Menurutnya, aturan perpanjangan masa kredit tersebut sama sekali tidak merugikan pemerintah dari segi fiskal. Di sisi lain, dia memahami hambatan terbesar yakni masa kerja pemerintah yang maksimum 5 tahun sehingga pergantian kebijakan menjadi lebih rentan.

Sementara, dari sisi bahan baku, Direktur Legal & External Affairs PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA), Edi Rivai mengatakan bahan baku petrokimia yang saat ini membutuhkan 2,5 juta ton naphta. Faktanya, rata-rata 95 persen naphta masih di impor karena tidak ada feedstock di Indonesia.

Maka, menurut Edi, Indonesia perlu membangun refinery atau kilang yang kuat sehingga dapat mengeluarkan produk naphta mandiri. "Karena refinery-nya kurang, makanya naphta itu kita impor dengan total yang cukup besar, kuantitasnya lebih kuang 2,5 juta ton," jelas Edi.

Selain itu, dia meminta pemerintah untuk tegas melakukan pembatasan impor produk petrokimia. Padahal, Indonesia memiliki pangsa pasar yang besar. Banjir impor yang terjadi saat ini tak hanya pada bahan baku, melainkan juga barang jadi plastik.

"Jadi banyak sekali produk barang jadi seperti terpal, kantong-kantongan, banyak kontainer rumah tangga bahannya impor, entah dari China, Korea, dan sebagainya," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper