Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mendesain defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun anggaran 2024 sebesar Rp522,82 triliun atau setara dengan 2,29 persen terhadap PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI telah menyepakati target pendapatan negara pada 2024 sebesar Rp2.802,29 triliun, sementara belanja ditetapkan sebesar Rp3.325,11 triliun.
Kesepakatan target pendapatan negara dan belanja negara tersebut meningkat dari usulan dalam RAPBN 2024 yang masing-masingnya sebesar Rp2.781,31 triliun dan Rp3.304,13 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, berbagai pos APBN yang sangat dinamis tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global.
Menurutnya, pemerintah harus bisa mengelola ketidakpastian dan dinamika tanpa mengerosi kredibilitas APBN dan tetap memberikan kepastian kepada perekonomian, serta pada program-program pembangunan nasional di tengah berbagai ketidakpastian.
Menurutnya, risiko yang masih perlu diwaspadai di antaranya ketidakpastian dua ekonomi besar, Amerika Serikat dan China, yang dapat menimbulkan spillover atau rambatan ke seluruh dunia.
Baca Juga
Kedua, geopolitik dan disrupsi rantai pasok yang mempengaruhi harga komoditas. Dia mencontohkan, harga minyak dunia saat ini telah bergerak di atas US$95 per barel.
Mengingat dinamika gejolak harga yang masih tinggi, pemerintah menaikkan asumsi harga minyak mentah Indonesia/ICP menjadi sebesar US$82 per barel, yang awalnya US$80 per barel.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan, harga komoditas nonminyak pun masih dipengaruhi geopolitik maupun perubahan iklim, seperti harga batu bara dan CPO.
“Ini semua menimbulkan tantangan dalam pengelolaan APBN yang harus tetap kredibel, reliabel dan efektif menjadi instrumen fiskal untuk mencapai tujuan pembangunan,” kata dia dalam rapat kerja bersama dengan Badan Anggaran DPR RI, Selaasa (19/9/2023).
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa peran APBN akan kembali krusial, terutama dalam menopang target pertumbuhan ekonomi.
Selain masih menghadapi berbagai tantangan global, ekonomi di dalam negeri juga mulai masuk periode tahun politik, sehingga belanja pemerintah itu berpeluang terkoreksi, terutama misalnya untuk investasi.
“Maka kemampuan realisasi belanja pemerintah baik di level pusat maupun daerah itu akan sangat menentukan bagaimana kemudian target pertumbuhan ekonomi yang disepakati dalam asumsi makro APBN bisa tercapai atau tidak,” kata dia.
Selain itu, menurutnya APBN pada 2024 juga menghadapi tantangan, di mana pembiayaan utang jatuh tempo relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun ini.
“Menurut saya itu perlu menjadi catatan tersendiri apalagi jika pemerintah misalnya ingin menerbitkan surat utang dalam jangka pendek,” jelasnya.
Dia menambahkan, tantangan geopolitik yang berlanjut tahun depan juga masih perlu diwaspadai. Dengan adanya perubahan asumsi ICP, pemerintah melihat bahwa ada kemungkinan harga minyak global masih berpeluang mengalami peningkatan.
Peningkatan ini kata dia harus terakomodir dalam asumsi makro karena turut menentukan proyeksi penerimaan dan belanja negara bisa mencapai target.
“Kalaupun meleset, tidak akan jauh dari deviasi target awal. Kenaikan asumsi ICP ini akan mempengaruhi dari sisi belanja, terutama dari subsidi yang akan diberikan karena subsidi masih mengikuti harga minyak global dan pada muaranya mempengaruhi hitungan dari penyaluran subsidi tahun depan,” jelasnya.
Menurutnya, asumsi ini sangat fleksibel dan dinamis, artinya dapat berubah pada tahun depan jika kondisi geopolitik lebih buruk ataupun lebih baik dari yang diproyeksikan sebelumnya.
Senada, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai bahwa ketidakpastian global tahun depan, terutama pergerakan harga komoditas, termasuk harga minyak, akan mempengaruhi APBN.
Apalagi, Indonesia memasuki tahun politik tahun depan. Ketidakpastian harga minyak, terutama akan berimplikasi ke besaran biaya subsidi dan kompensasi yg perlu dibayarkan apabila harga energi naik.
“Yang perlu diwaspadai ke depannya adalah dari ketidakpastian global mendorong beban subsidi dan kompensasi,” kata dia.
Selain itu, di tahun politik, pemerintah juga perlu memperhatikan kelanjutan dari reformasi spending dan revenue yang sudah dilakukan sejak tahun lalu.