Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fithra Faisal Hastiadi

Direktur Eksekutif Next Policy

Fithra Faisal Hastiadi adalah Direktur Eksekutif Next Policy. Ekonom, peneliti, dan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini meraih PhD dari Waseda University, Jepang dan pernah menjadi associate researcher pada Asian Development Bank Institute, Tokyo.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Membangun Impian Transportasi Publik yang Lebih Baik

Pembangunan sistem BRT Bandung Raya, yang diharapkan menjadi solusi terhadap kemacetan parah, belum menunjukkan progres yang memuaskan.
Sebanyak 19 trainset dari total 31 trainset LRT Jabodebek telah dikirim ke Jakarta melalui stasiun Harjamukti (20/1/2021). /INKA
Sebanyak 19 trainset dari total 31 trainset LRT Jabodebek telah dikirim ke Jakarta melalui stasiun Harjamukti (20/1/2021). /INKA

Bisnis.com, JAKARTA - Negara yang maju bukanlah negara di mana warga miskin mampu memiliki mobil, tetapi di mana orang-orang kaya menggunakan transportasi umum. Ini adalah ajaran dari Enrique Penalosa, sosok yang menjadi Walikota Bogota pada periode 1998—2001.

Kutipan ini telah merambat ke berbagai sudut dunia, dan tentunya dengan alasan yang jelas. Enrique Penalosa adalah salah satu contoh langka pemimpin yang berhasil mengubah wajah transportasi publik kota Bogota, Kolombia, melalui revolusi sistem Bus Rapid Transit (BRT).

Pandangan yang diusung oleh Penalosa bukanlah sekadar filosofi kosong. Ini adalah visi yang telah terbukti berhasil. Di tengah-tengah tantangan kota megapolitan dengan masalah kemacetan yang parah, Bogota berhasil mengubah paradigma transportasi publiknya.

Lewat penerapan sistem TransMilenio, sebuah sistem BRT yang efisien dan terorganisir, kota ini mampu memberikan alternatif nyata kepada warganya untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum yang andal.

Banyak yang mendapatkan inspirasi, tak terkecuali Indonesia. TransJakarta yang melegenda adalah salah satu contoh pengembangan transportasi massal kota Jakarta dan segera merambat ke segenap kota aglomerasi. Moda transportasi publik selepas TransJakarta pun berkembang cukup signifikan.

Dimulai juga dengan revolusi kereta listrik ala Jonan sampai moda MRT yang terwujud di tengah kota Jakarta. Tak kurang dari itu, LRT yang telah diresmikan pun diharapkan menjadi wajah baru dari integrasi moda transportasi publik yang mampu melipat ruang dan waktu, memotong ongkos kemacetan yang berlipat lipat.

Tak jauh dari Jakarta, provinsi tetangga seperti tak mau ketinggalan gerbong. Bulan Agustus 2022 menjadi sebuah babak lanjutan dari revolusi transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia.

Apa pasal? Pada bulan itu lah Kementerian Perhubungan menandatangani perjanjian dengan Bank Dunia, mengamankan dana senilai US$264 juta (sekitar Rp3,8 triliun) untuk merevitalisasi sistem transportasi BRT di Bandung dan Medan. Namun, setelah berlalunya beberapa waktu, pertanyaan muncul: Apakah upaya ini benar-benar akan membawa perubahan nyata atau hanya sekadar rencana besar yang tak kunjung terealisasikan?

Pada permukaan, kesepakatan ini adalah langkah berani yang menggambarkan komitmen Pemerintah dalam menghadapi masalah transportasi yang makin mendesak. Namun, realitas di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan antusiasme awal.

Pembangunan sistem BRT Bandung Raya, yang diharapkan menjadi solusi terhadap kemacetan parah, belum menunjukkan progres yang memuaskan. Media sosial menjadi tempat bagi kekecewaan dan kebingungan masyarakat yang mengamati perkembangan proyek ini.

Mereka tak hanya meragukan kelambatan proyek, tetapi juga mengukur Bandung dengan kota-kota lain yang telah berhasil mengoperasikan sistem BRT mereka. Ketidakpastian proyek ini menjadi sorotan, membawa kita kepada pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya yang terjadi dengan impian sistem BRT di Bandung?

Namun, bukan hanya lambatnya progres yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Permasalahan yang lebih dalam mengenai transportasi publik saat ini juga diperdebatkan secara terbuka. Sistem transportasi yang tidak memadai dan tidak efisien telah menghasilkan gelombang keluhan dari masyarakat.

Kekhawatiran terhadap masa depan yang dipenuhi oleh kemacetan tak terhindarkan pun semakin menguat. Sudah lama, warga Bandung merindukan perubahan yang substansial, dan BRT pernah dianggap sebagai jawaban dari krisis lalu lintas yang kian membunuh. Namun, tanpa tindakan yang nyata dan tepat waktu, ramalan kekacauan lalu lintas total di tahun 2037 bisa saja menjadi realita yang mengerikan.

Mengintip rencana yang diusung, BRT Bandung Raya seolah menjadi harapan bagi solusi yang lebih baik, seperti layanan angkutan umum yang lebih layak untuk semua kalangan dan hadirnya opsi berpergian yang lebih cepat dan handal.

Proyek ini mencakup lima daerah: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Sumedang. Dengan 20 koridor yang direncanakan, BRT Bandung Raya dijadwalkan akan beroperasi sepenuhnya pada 2026—2027. Sayangnya, ambisi ini menghadapi tantangan yang sulit diatasi. Koordinasi antarwilayah yang pelik ternyata menjadi batu sandungan besar dalam mencapai tujuan ini.

Di tengah hambatan ini, tetap saja utang dan bunga pinjaman dari Bank Dunia terus mengalir, tanpa henti. Lebih dari itu, momen ini seharusnya menjadi tonggak untuk merenungi kembali proyek-proyek serupa yang telah menerima pendanaan, khususnya dalam hal BRT.

Menunda bukanlah pilihan bijak, karena bunga utang akan terus menggunung. Pelajaran berharga dapat diambil dari proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung (KCJB), yang melihat bunga pinjaman melonjak hingga 3,4% dari angka awal 2%.

Sejatinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan lima Pemerintah Kota Bandung telah berkomitmen untuk memulai pembangunan BRT pada 2024. Meski demikian, pada kuartal keempat 2023, belum ada tanda-tanda proyek yang akan segera dimulai. Bahkan, proses penetapan lahan dan perizinan terasa mengendap, menimbulkan pertanyaan tentang kelambatan ini.

Komparasi praktis pada tingkat global menjadi relevan dalam kasus ini. BRT telah menjadi langkah maju di berbagai negara, mengurangi kemacetan dan menghidupkan kembali sistem transportasi publik yang lemah.

Contoh dari negara-negara seperti Brasil, Kolombia, dan Turki menunjukkan kesuksesan proyek BRT dalam mengatasi masalah yang mirip dengan yang kita hadapi. Di Curitiba, Brasil, misalnya, sistem BRT telah berhasil meningkatkan aksesibilitas dan mengurangi polusi udara.

Dalam menghadapi tantangan pembangunan sistem BRT, Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman negara-negara yang telah sukses dalam mengimplementasikannya. Koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah, penerapan teknologi mutakhir, serta keterlibatan masyarakat secara aktif adalah beberapa kunci untuk meraih kesuksesan.

Tidak hanya itu, proyek semacam ini haruslah menjadi prioritas nasional, dengan dukungan dari semua pihak yang terlibat.

Terkait hal ini, perjalanan sukses yang ditempuh oleh Enrique Penalosa dalam mengubah wajah transportasi publik Bogota menjadi penting untuk dicermati. Melalui sistem TransMilenio yang terencana dan efisien, Bogota berhasil mengatasi masalah kemacetan parah dan memberikan alternatif nyata kepada warganya untuk menggunakan transportasi umum. Ini adalah contoh konkret bagaimana pemikiran progresif dan komitmen kuat bisa mengubah masa depan transportasi suatu kota.

Namun, dalam keseluruhan konteks, perbandingan ini juga mengingatkan kita akan tantangan yang ada di Indonesia. Mengintegrasikan sistem BRT yang kompleks dalam wilayah yang beragam dan luas adalah ujian yang nyata.

Diperlukan koordinasi yang kuat antarwilayah dan antarpemerintah, serta dukungan yang berkelanjutan untuk mengatasi hambatan yang muncul.

Dalam menilas perjalanan mengurai permasalahan transportasi publik, kita tidak hanya melihat tantangan yang dihadapi, tetapi juga potensi perubahan yang menginspirasi.

Sebagaimana Enrique Penalosa meretas jalannya di Bogota, begitu pula Indonesia memiliki peluang untuk mengubah paradigma transportasi publik dengan menatap cakrawala baru yang lebih baik.

Keberhasilan dan kendala dalam pembangunan sistem BRT di Bandung menjadi cerminan betapa kompleksnya tantangan dalam transformasi ini. Koordinasi yang rumit, hambatan teknis, serta pengelolaan yang efektif adalah beberapa elemen yang perlu diatasi.

Namun, kita juga belajar dari kesuksesan sistem serupa di berbagai belahan dunia, seperti di Bogota, yang membuktikan bahwa perubahan itu mungkin jika ada kemauan kuat.

Dengan peresmian LRT Jabodetabek yang telah dilakukan pada 28 Agustus 2023, Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya meresmikan proyek transportasi yang lebih modern, tetapi juga mengambil momentum ini sebagai dorongan untuk menggenjot proyek-proyek lainnya, termasuk pembangunan BRT. Penundaan bukanlah opsi bijak, mengingat biaya ekonomi dan sosialnya yang tinggi.

Penting untuk memandang proyek-proyek ini bukan hanya sebagai infrastruktur fisik semata, tetapi juga sebagai investasi dalam kualitas hidup dan mobilitas warga.

Pada gilirannya, perjalanan menuju impian transportasi publik yang lebih baik bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, dengan inspirasi dari tokoh seperti Enrique Penalosa dan semangat perubahan yang kita miliki, bukanlah mustahil bagi Indonesia untuk meraih transformasi yang diimpikan.

Jangan sampai kita ketinggalan gerbong yang terus melaju dengan cepat, hingga suarnya padam di tengah pekat, tanpa mampu menjemput cakrawala di ujung senja.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper