Pro-Kontra Hilirisasi
Sebagaimana diketahui, kebijakan hilirisasi nikel yang digaungkan pemintahan Jokowi menjadi sorotan, mulai dari gugatan WTO, catatan IMF, hingga para ekonom.
Berdasarkan catatan Bisnis, Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya melalui Dokumen Konsultasi Staf IMF (IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia) memberikan sejumlah rekomendasi pertimbangan kepada pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan penghapusan pembatasan ekspor komoditas mineral secara bertahap.
Tak hanya itu, dokumen tersebut juga meminta pemerintah RI tidak memperluas kebijakan larangan ekspor bijih nikel ke komoditas lainnya.
Terkait hal tersebut, Kemenko Marves menyampaikan bahwa IMF telah meminta maaf, yang disampaikan langsung oleh Managing Director IMF Kristalina Georgieva kepada Menteri Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, dalam pertemuan pada 9 Agustus 2023.
Kristalina sendiri menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh pemerintah, yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia.
Kemudian, Indonesia juga mengalami sengketa hukum dengan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO), dimana gugatan terjadi dikarenakan pemerintah secara resmi melarang kegiatan ekspor bijih nikel sejak 2020.
Baca Juga
Indonesia sendiri kalah dengan gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO, namun kembali mengajukan banding.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan larangan total ekspor komoditas.
Bhima juga berpendapat bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam konteks hilirisasi dan jangan hanya dilihat sebagai nilai tambah, namun lubang dari regulasi dan praktik pengawasannya masih banyak.
Menurutnya, output dari program hilirisasi yang digaungkan masih jauh dari harapan awal pemerintah. Alternatifnya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan yang memainkan tarif atau bentuk kebijakan lainnya.
“Kalau pelarangan total, memangnya benar tidak ada bijih nikel yang keluar? Buktinya 5 juta ton lebih jadi ilegal, artinya tetap saja,” jelasnya.
Sementara itu, Presiden Jokowi mengaku telah merumuskan strategi dan langkah teknis hilirisasi. Meski tidak mudah, langkah demi langkah perlu dijalani agar Indonesia keluar dari middle income trap.
Hilirisasi menjadi sebuah loncatan yang dinilai mampu membawa Indonesia ke era yang lebih maju. Jokowi kembali mengingatkan bahwa dampak keuntungan dari hilirisasi sangat besar, jika ekspor bahan mentah saja nilainya mencapai US$2,1 miliar atau Rp32 triliun.
"Begitu di hilirisasi di industrialisasi menjadi US$33,8 miliar. Jadi dari Rp32 triliun menjadi Rp510 triliun kurang lebih, lompatannya berapa kali," ujarnya.
Lebih lanjut, Jokowi mengungkap bahwa ekspor bahan mentah telah dilakukan Indonesia sejak 400 tahun yang lalu sejak zaman VOC. Hal ini perlu dihentikan agar Indonesia mendapatkan keuntungan lebih besar.
Selain royalti pajak yang dapat dinikmati negara dari hasil hilirisasi, Jokowi meyakinkan bahwa masyarakat juga akan memiliki kesempatan dan lapangan kerja dalam negeri yang semakin terbuka lebar.
"Sebelum hilirisasi, kesempatan kerja pembukaan lapangan kerja ada di negara lain, setelah hilirisasi lapangan kerja terbuka di dalam negeri," pungkasnya.