Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Wacana Subsidi Pertamax & Anggaran Kompensasi Energi

Kementerian ESDM tengah mengkaji opsi untuk mengalihkan subsidi BBM pada bensin RON 92 atau Pertamax untuk menekan polusi udara.
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji opsi pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada jenis bensin RON 92 atau Pertamax. Opsi ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong masyarakat beralih menggunakan BBM dengan nilai oktan lebih tinggi yang rendah emisi.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya tengah melakukan kajian terkait peningkatan kualitas BBM untuk menekan polusi udara di Jakarta yang parah belakangan ini.

Secara teknis, kata Dadan, semakin tinggi angka oktan BBM maka akan semakin bagus pembakarannya sehingga emisi yang dihasilkan dari penggunaan BBM tersebut akan semakin sedikit.

"Jadi kami sedang lihat juga apakah bisa dilakukan upaya untuk peningkatan angka oktan untuk bahan bakar," kata Dadan di Nusa Dua Bali Convention Centre (NDBCC), Kamis (24/8/2023).

Terkait hal tersebut, Dadan mengungkapkan bahwa Kementerian ESDM tengah melakukan pembahasan internal terkait pembatasan penyaluran BBM beroktan rendah, yakni Pertalite (RON 90). Menurutnya, kementerian masih mengkaji dari berbagai sisi, baik secara teknis, regulasi, maupun secara keekonomian, terkait wacana tersebut.

Selain pembatasan Pertalite, Dadan juga menyiratkan bahwa pihaknya juga mengkaji opsi untuk mengalihkan subsidi ke Pertamax yang memiliki kadar oktan lebih tinggi dari Pertalite.

"[Subsidi ke Pertamax] itu termasuk yang sedang dibahas," katanya.

Adapun, rencana pembatasan penyaluran Pertalite dan Solar subsidi sebetulnya telah diusulkan ke Presiden Joko Widodo demi menjaga agar kuota subsidi tak jebol. Terdapat sejumlah skenario pembatasan yang dirancang dalam penyaluran kedua jenis BBM tersebut guna menekan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Rencana pembatasan itu diupayakan melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014  tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. 

Dalam usulan revisi Perpres tersebut, akses pembelian Pertalite atau BBM RON 90 diberikan terbatas kepada lima kategori konsumen, yakni industri kecil, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi, dan pelayanan umum.

Anggaran Kompensasi Energi

Meski bukan jenis BBM bersubsidi, Pertalite merupakan jenis BBM khusus penugasan (JBKP) yang mendapatkan kompensasi dari pemerintah atas selisih harga jual yang ditetapkan pemerintah dengan harga jual keekonomiannya.

Mengutip laporan keuangan PT Pertamina (Persero) 2022, perhitungan dana kompensasi selisih harga jual eceran RON 90 (Pertalite) yang disetujui untuk dilakukan penggantian untuk periode semester I/2022 adalah sebesar Rp74,88 triliun (tidak termasuk pajak bahan bakar kendaraan bermotor atau PBBKB).

Kemudian, untuk triwulan III/2022 sebesar Rp50,69 triliun (tidak termasuk PBBKB), sementara untuk Oktober 2022 sebesar Rp4,89 triliun (tidak termasuk PBBKB).

Sementara itu, Kementerian Keuangan menganggarkan total subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp329,9 triliun pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.

Dari besaran tersebut, alokasi anggaran subsidi energi dipatok sebesar Rp185,87 triliun. Artinya, besaran kompensasi energi (BBM dan listrik) yang dianggarkan sebesar Rp144,03 triliun.

Adapun, anggaran subsidi energi terbagi untuk belanja subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kilogram sebesar Rp110,04 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp75,83 triliun.

“Untuk energi dalam hal ini LPG 3 kilogram, listrik dan BBM kita lihat konsumsinya meningkat cukup tajam,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2024 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Rabu (16/8/2023).

Sri menambahkan, naiknya nilai subsidi energi itu juga dipicu oleh asumsi nilai tukar rupiah yang dikerek ke level Rp15.000 per dolar AS dalam RAPBN tahun depan.

“Tadi kalau nilai tukarnya di Rp15.000 berarti juga akan meningkat jumlah subsidi energi kita,” kata dia. (Nyoman Ary Wahyudi)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper