Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian global menunjukan perbaikan setelah pandemi Covid-19 dan Indonesia mampu menjaga laju pertumbuhan ekonomi domestik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2023 sebesar 5,17% (year-on-year/YoY). Angka ini tidak hanya lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal I/2023 sebesar 5% (YoY), tetapi juga jika dibandingkan beberapa negara kawasan seperti Singapura dan Vietnam.
Pertumbuhan ekonomi kuartal Indonesia telah konsisten berada diatas level 5% selama 7 kuartal secara berturutan. Namun, kondisi global memang belum seperti sebelum pandemi bahkan lebih lemah jika dibandingkan ekspektasi satu tahun yang lalu.
Dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan sedang bergerak mencari ‘new-setup’ dan keseimbangan baru (ekuilibrium). Simpul-simpul utama perekonomian dunia bergerak dengan fase dan kecepatan yang berbeda. Perbaikan mobilitas, di saat kondisi suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer) dan perubahan peta geopolitik, memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat di Amerika Serikat.
Namun, kondisi yang sama belum terjadi di kawasan Eropa. Peningkatan tensi geopolitik membuat kondisi dunia diliputi ketidakpastian sementara tren kebijakan nasionalistik negara-negara utama memengaruhi rantai perdagangan serta arus modal. Dari sisi lain, tantangan domestik dan pelemahan perdagangan China juga memengaruhi laju pertumbuhan di kawasan Asia Tenggara.
Selama periode pandemi, Indonesia telah menjadi titik labuh di saat kondisi perekonomian global diliputi ketidakpastian. Hal ini berlanjut pada periode pemulihan. Stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan inflasi yang terjaga membuat Indonesia bergerak stabil dibandingkan negara-negara peers.
Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia juga konsisten di area ekspansif di tengah kontraksi PMI negara-negara maju. Tahun ini, IMF memperkirakan pertumbuhan Indonesia mencapai 5%. Pendapatan per kapita Indonesia juga telah kembali ke tingkat middle-income pada 2022.
Baca Juga
Di sektor moneter dan keuangan, Indonesia juga stabil. Spread suku bunga acuan Bank Indonesia (7DRR) dengan upper-level Fed Fund Rate (FFR) kian mengecil, menjadi sebesar 25 bps per Juli 2023 dan merupakan spread terendah selama ini. Namun, dengan spread yang “hanya” sebesar 25 bps tersebut, sektor keuangan Indonesia tetap mampu menjaga capital inflow investor asing di pasar saham maupun pasar surat utang Indonesia.
Selama semester I/2023, penghimpunan dana melalui pasar modal Indonesia mencatatkan nilai terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ke-4 secara global. Laju inflasi Indonesia yang terjaga juga membuat real yield Indonesia kompetitif serta membantu stabilitas rupiah. Tingkat suku bunga utang pemerintah Indonesia dalam denominasi rupiah masih kompetitif. Selain itu, kepercayaan investor asing juga tergambar dari tingkat FDI ke Indonesia.
Selama kuartal I/2023, FDI Indonesia mencapai US$5,3 miliar, lebih tinggi dari FDI ke Malaysia, Filipina, dan Thailand. Terbaru, rating Indonesia juga mampu berada stabil di level layak investasi (investment grade).
Dari sisi politik dan kebijakan, Indonesia berada pada tingkat baik dibanding banyak negara. Pada periode pandemi, disaat banyak negara mengalami gejolak politik, stabilitas politik Indonesia menjadi faktor penting. Bahkan pada saat kondisi pandemi, Indonesia mampu menyelesaikan dokumen perundangan cukup krusial (UU Ciptaker, UU HKPD, UU HPP, UU P2SK). Selain itu, Indonesia juga mampu konsisten menjaga disiplin fiskal. Pelebaran defisit anggaran dapat kembali ke bawah level 3%, bahkan lebih cepat dari target.
Stabilitas politik dan kebijakan telah menunjukan bahwa Indonesia tidak saja sebagai titik labuh saat ini, tetapi sebagai tujuan investasi yang positif di masa depan. Memiliki lebih dari 270 juta penduduk, dengan hampir 70% dalam usia produktif dan lebih dari 20% sudah berada pada tingkat middle-income, Indonesia mempunyai potensi besar pertumbuhan ekonomi masa depan.
Namun, tantangan perekonomian dunia akan tetap bergerak dan memberikan sumber-sumber risiko bagi Indonesia. Setidaknya ada empat isu utama yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, munculnya risiko pandemi baru. Oleh karena itu, salah satu pelajaran terbesar adalah memahami bahwa kondisi serupa pandemi Covid-19 masih mungkin terjadi di masa depan. Negara perlu siap dalam menghadapi kondisi serupa di masa depan melalui kebijakan yang adaptif dan responsif.
Kedua, dari sisi perubahan geopolitik, Indonesia menghadapi tantangan khususnya sisi geopolitik pada sektor sumber daya mineral. Setidaknya ada beberapa mineral utama (nikel, bauksit, tembaga, aluminium, cobalt, rare earth) yang diperkirakan akan menjadi pengatur alur perdagangan dunia. Indonesia adalah salah satu sedikit negara yang memiliki cadangan mineral-mineral tersebut. Pengembangan new-mindset dari negara pengekspor bahan mentah menjadi penciptaan nilai tambah melalui penghiliran perlu disiapkan dan dijelaskan secara utuh kepada masyarakat, termasuk kepada dunia internasional.
Ketiga, penggunaan teknologi yang semakin masif salah satunya di sektor keuangan berpotensi terjadinya shock baik dari kondisi makro maupun mikro dapat tertransmisi kepada sistem keuangan dan berakibat sistemik. Kondisi ini akan makin invasif dengan pengaplikasian Artificial Intellingence (AI). Risiko cyber security attack meningkat dan berpotensi merugikan masyarakat.
Keempat, Climate Change dan pencapaian keberlanjutan pertumbuhan (sustainability). Indonesia, selama Presidensi G20, telah cukup agresif dalam membawa isu perubahan iklim dan transisi energi ke diskusi global. Namun, untuk mengaplikasi program tersebut di lingkungan domestik, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri. Narasi yang tepat kepada sektor swasta, termasuk dunia internasional, perlu disusun untuk memberikan peluang kolaborasi masa depan.