Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) angkat bicara soal fenomena utang jumbo para BUMN Karya yang berujung merugikan para subkontraktor, terutama pengusaha di daerah.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Andi Rukman Nurdin menggambarkan bahwa fenomena pembayaran molor dari BUMN Karya merupakan penyakit lama yang saat ini menjadi semakin parah.
"Subkontraktor di daerah yang paling dirugikan. Padahal, pola pikir mereka itu sederhana, ketika dapat proyek, pasti ambil pinjaman di bank buat modal kerja. Jadi kalau pelunasan dari BUMN Karya molor sampai 2-3 tahun, rusak lah bisnis mereka, margin cuma habis buat bayar bunga," jelasnya kepada Bisnis, dikutip pada Rabu (23/8/2023).
Gapensi pada prinsipnya tidak ingin menyalahkan pemerintah, kementerian, atau BUMN Karya tertentu, tetapi mengharapkan perbaikan mekanisme relasi profesional yang lebih adil terhadap subkontraktor.
Terlebih, dengan fenomena utang jumbo para BUMN Karya terhadap perbankan dan obligor surat utang, Gapensi berharap jangan sampai pembayaran utang ke subkontraktor kecil semakin terpinggirkan dan bukan menjadi prioritas.
"Nilai proyek infrastruktur semakin tinggi setiap tahun, tapi bersamaan dengan itu justru para pengusaha konstruksi di daerah pada bangkrut. Arus kas jadi negatif setelah ikut proyek-proyek BUMN Karya. Artinya, ada sistem yang salah, ada metode yang salah. Ini luka lama yang terus bergulung seperti bola salju," ujar Andi.
Baca Juga
Selain itu, Gapensi pun berharap negara secepatnya merumuskan strategi untuk mengembalikan kesehatan kondisi keuangan para BUMN Karya, tidak lagi memaksa BUMN Karya untuk mengerjakan proyek-proyek bukan prioritas, atau memaksa mereka mengerjakan proyek dengan tingkat pengembalian investasi yang terlampau lama.
"Saya yakin tidak ada BUMN Karya yang mau punya utang ke vendor-vendor kecil. Malu. Tapi karena kondisi mereka sudah payah, utang bank dan obligasinya menumpuk, ditambah dapat penugasan yang bahkan tidak nutup biaya operasional, ya, begini ini jadinya," tutupnya.
Senada, Direktur Utama PT Geoforce Indonesia sekaligus Pengurus Pusat Gapensi Dandung Sri Harninto mengamini bahwa secara umum kontraktor di daerah memang yang paling dirugikan oleh fenomena molornya pembayaran BUMN Karya.
Terlebih, beberapa BUMN Karya mengakomodasi fasilitas supply chain financing dari perbankan untuk membantu permodalan para subkontraktor dan suplier ketika mulai bekerja, di mana tentu memiliki biaya layanan dan bunga.
Margin tipis pun bisa semakin cepat habis apabila kontraktor tidak cermat."Karena teman-teman di daerah biasanya ambil pekerjaan yang hampir semua bisa, persaingannya ketat, margin pun semakin minim. Jadi saya pribadi lebih memilih untuk ambil pekerjaan spesifik di proyeknya BUMN Karya, sehingga tetap ada margin cukup longgar, walaupun satu-dua proyek saya ada yang pelunasannya molor lebih dari setahun," ungkap Dandung.
Menurutnya, sudah banyak keluhan dari anggota Gapensi yang kapok berurusan dengan proyek BUMN Karya karena masalah-masalah pembayaran BUMN Karya. Namun, kebanyakan merasa permisif dengan dalih menjaga hubungan baik.
"Gapensi pernah membuat survei internal soal masalah ini. Ada puluhan anggota dengan nilai proyek di atas Rp10 miliar yang pelunasannya sudah 'ulang tahun' beberapa kali. Tapi kebanyakan tidak mau menjelaskan lebih lanjut, ya, karena mau bagaimana lagi, hampir di setiap proyek besar pasti berhubungan dengan BUMN Karya," jelasnya.
Menjaga hubungan baik pun menjadi pertimbangan utama soal kenapa banyak kontraktor anggota Gapensi yang urung menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang dengan para BUMN Karya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah sekaligus pengurus BPD Gapensi Sulawesi Tengah Hardy D. Yambas mengungkap cerita soal proyek-proyek dari BUMN Karya yang bermasalah dengan para subkontraktor lokal di daerahnya, terutama proyek pemulihan pascabencana gempa dan tsunami 2018.
"Proyek seperti pembangunan irigasi, talut, rumah dan sekolah, maryoritas baru dibayar sebagian. Padahal sudah selesai sejak 2-3 tahun lalu. Memang saya percaya pasti lunas walaupun lama. Tapi ini merugikan teman-teman kontraktor di sini. Ada yang bahkan keburu bangkrut duluan sebelum terima pelunasan," ujar Hardy.
Bagi para kontraktor di Sulawesi Tengah yang merupakan daerah pascabencana, Hardy menekankan bahwa kebutuhan mengambil modal kerja dari perbankan merupakan keniscayaan, sehingga kepastian pembayaran dari BUMN Karya selaku payor merupakan kunci untuk keberlanjutan bisnis.Pasalnya, pelaku jasa konstruksi merupakan salah satu kontributor terbesar pencipta lapangan kerja di Sulawesi Tengah.
"Harusnya proyek-proyek BUMN Karya membuat kontraktor lokal semakin sejahtera, bikin perekonomian daerah lebih hidup. Kalau sekarang, seakan-akan justru kami ini yang membantu BUMN bertahan hidup," tutup Hardy.