Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong pembahasan aturan main fasilitas penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) antarnegara anggota Asia Tenggara (Asean).
Ide itu disampaikan Arifin saat pergelaran Asean Chairmanship 2023 Side Event, 'Sustainable Energy Financing and Mobilisation of Energy Investment and Advancing CCUS Implementation for Energy Security in ASEAN', secara virtual, Rabu (23/8/2023).
“Aturan diperlukan untuk mengatur implementasi CCS Hubs di luar wilayah kerja migas dan terbuka transportasi lintas batas memungkinkan emisi lintas negara,” kata Arifin seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (23/8/2023).
Arifin meminta keaktifan anggota Asean untuk lebih mengembangkan teknologi CCUS, melalui peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efisiensi dan keterjangkauan teknologi CCUS.
Dia menggarisbawahi transisi energi di kawasan Asean tetap membutuhkan energi fosil, migas dan batu bara sebagai sumber pembangkit utama. Penerapan CCS/CCUS menjadi krusial untuk tetap menjaga momentum perkembangan industri.
“Teknologi CCUS sangat penting untuk mitigasi emisi karbon dari industri yang menantang untuk didekarbonisasi termasuk industri minyak dan gas," kata Arifin.
Baca Juga
Berdasarkan data dari IRENA, kebutuhan dana agar bauran energi baru terbarukan (EBT) di Asean mencapai 100 persen mencapai US$29,4 triliun pada 2050 mendatang.
Investasi sebesar itu diperuntukkan untuk pengembangan pembangkit listrik EBT, penyediaan jaringan transmisi listrik, biofuel, pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Sementara itu, berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin.
Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar, yaitu sekitar 80 giga ton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.
“Kita bisa lakukan perdagangan, eh you mau nyimpan bayar, contohnya Jepang, Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairnya setiap tahun, kalau carbon prices dinilai US$60 sampai US$100 per tahun, nanti potong ongkos-ongkos macam-macam, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut,” kata dia.
Malahan, Arifin menambahkan, Indonesia berpotensi memanfaatkan hanya 25 persen dari reservoir penyimpanan karbon itu hingga 2060. Sisanya, kata dia, dapat dipakai sebagai hub untuk diperdagangkan dengan beberapa negara lain yang minim fasilitas tersebut.
Saat ini, terdapat 14 proyek fasilitas CCS/CCUS yang tengah dikembangkan di Indonesia dengan target operasi maksimal 2030 mendatang.
Adapun, ke-14 proyek itu tersebar dari Arun, Sakakemang, Central Sumatra Basin Hubs, Coal to DME+ yang dikembangkan Pertamina dan Chiyoda Corp; Ramba, Gundih, East Kalimantan & Sunda Asri Basin Hubs, CCU to Methanol RU V Balikpapan, Sukowati, Abadi, Blue Ammonia yang dikembangkan Panca Amara Utama bersama dengan Jogmec, Mitsubhisi dan ITB, Tangguh.
Sementara terdapat dua lapangan yang masih studi lebih lanjut di kawasan Jawa Timur yang dikembangkan Pertamina dan Chevron dan fasilitas di Kalimantan Timur yang dikembangkan Kaltim Parna Industri bersama dengan ITB.