Bisnis.com, JAKARTA - China akan menghentikan penerbitan data mengenai melonjaknya tingkat pengangguran kaum muda untuk menghilangkan kerumitan dalam angka. Hal ini membuat para investor khawatir mengenai transparansi data oleh pemerintah China.
Mengutip Bloomberg pada Selasa (15/8/2023) menurut Biro Statistik Nasional, tingkat pengangguran untuk orang berusia 16-24 tidak akan dirilis dari Agustus 2023 hingga metode survei diperbaiki.
Juru bicara Biro tersebut, Fu Linghui mengatakan bahwa statistik tenaga kerja perlu dioptimalkan lebih lanjut.
“Apakah siswa yang mencari pekerjaan sebelum lulus harus dihitung dalam statistik tenaga kerja perlu penelitian lebih lanjut,” jelasnya.
Dapat diketahui bahwa lebih dari seperlima anak muda menganggur di China, dengan tingkat pengangguran mencapai rekor 21 persen pada Juni 2023.
Tingkat itu bahkan diperkirakan akan naik kembali pada musim panas ini, karena lulusan universitas akan membanjiri pasar kerja dan jatuh pada musim gugur.
Baca Juga
Ekonom senior Asia di Union Bancaire Privee, Carlos Casanova, mengatakan bahwa kelalaian ini tidak akan meningkatkan sentimen investor internasional, karena dapat menciptakan kemerosotan visibilitas.
Ia juga memperkirakan bahwa pengangguran kaum muda akan mencapai sebesar 22 persen di Juli 2023.
“Sepertinya angka aktualnya bahkan mungkin melebihi perkiraan ini, oleh karena itu perlu menghentikan rilis data untuk menghindari volatilitas pasar yang berlebihan," jelasnya.
Kemudian, ekonom senior di Natixis, Gary Ng, mengatakan bahwa dengan menghilangkan data tersebut pada Juli 2023 akan mempersulit untuk memahami lanskap ketenagakerjaan kaum muda di China.
Indikator tersebut menjadi indikator yang penting mengingat tekanan-tekanan ekonomi yang sedang dialami China.
"Namun, jika penghentian ini adalah untuk memperbaiki metodologi statistik, [maka dampak kepercayaan investor akan bergantung pada] apakah seri data yang baru dapat memberikan gambaran yang lebih baik," tambahnya.
Pemerintahan Presiden Xi Jinping diketahui lebih menjaga data ekonomi yang dianggap sensitif. Selama setahun terakhir, China telah membatasi akses ke data perusahaan, dokumen pengadilan, jurnal akademis, dan menindak jaringan ahli yang melayani bisnis, sehingga menghambat kemampuan investor untuk menilai perekonomian.