Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali menegaskan larangan produk impor yang dijual di e-commerce.
Sebagaimana diketahui, rencana pelarangan penjualan produk impor harga di bawah Rp1,5 juta tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020.
Dia menjelaskan larangan produk impor diberlakukan untuk barang dengan harga di bawah US$100 (sekitar Rp1,5 juta) yang penjualannya dilakukan melalui mekanisme cross border atau yang dikirim langsung dari luar negeri.
"Ya, itu [larangan] cross border saja," ujar Zulhas saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (1/8/2023).
Zulhas menuturkan hari ini revisi beleid tersebut tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kendati demikian, Zulhas enggan berkomentar ihwal pengaturan perdagangan produk impor non-cross border yang selama ini marak diperdagangkan di marketplace dalam negeri.
Sebelumnya, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Nailul Huda membeberkan adanya peningkatan impor seiring pesatnya belanja online melalui e-commerce dan social commerce. Bahkan, 74 persen produk yang dijual di e-commerce dan social commerce disebut berasal dari impor.
Baca Juga
Hal itu tercermin dengan peningkatan impor barang konsumsi yang terjadi setelah e-commerce boom periode 2015-2016, dan di saat pandemi. Pada 2021 peningkatan impor barang konsumsi mencapai sekitar 20 persen dibandingkan dengan 2020.
"Ada korelasi positif antara permintaan belanja online dan impor barang konsumsi. Ini mungkin penjualnya lokal, tapi produk yang dijual itu adalah produk impor, terutama dari Cina," ujar Nailul dalam diskusi publik secara virtual, Senin (24/7/2023).
Adapun Huda menyebut bahwa penjualan online melalui social commerce secara global diprediksi akan meningkat pesat tiga kali lipat pada 2026. Sementara survei Populix pada 2022, Tiktok Shop menjadi platform social commerce terfavorit di masyarakat Indonesia.
Revisi beleid itu, kata dia harus mencantumkan deskripsi barang impor lebih detail. Musababnya banyak produk asal impor yang dijual di platform belanja digital dalam negeri dibandingkan produk impor melalui cross border.
"Kita harus bisa membedakan barang yang dijual itu impor atau barang yang langsung dikirim dari luar [cross border]," jelasnya.