Bisnis.com, JAKARTA - Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) menyatakan para e-commerce akan tutup jika revisi Permendag No.50/2020 tentang batasan impor e-commerce benar-benar terlaksana.
Menurut Ketua IDIEC, M. Tesar Sandikapura, hal ini disebabkan banyaknya barang impor yang dijual di e-commerce ataupun social commerce.
“Kita semua tahu, 90 persen produk yang ada di marketplace merupakan produk impor, itu fakta. Saya jamin banyak yang di bawah Rp1 juta. Dan sekarang mau “ditutup”, ya sudah itu enggak ada gunanya marketplace di Indonesia,” ujar Tesar kepada Bisnis, pada Jumat (28/7/2023).
Tesar juga berpendapat jika batasan harga impor tersebut juga masih belum memiliki tujuan yang jelas. Hal ini dikarenakan, jika memang untuk melindungi UMKM dan meningkatkan daya saing UMKM, hal ini belum tentu.
Menurutnya, masih belum ada laporan tertulis terkait protes yang dilakukan UMKM karena jumlah barang impor di e-commerce yang tinggi.
“Apakah betul dengan ditutup e-commerce, lalu (penjualan) UMKM kita langsung naik, itu kan masih asumsi juga. Kecuali benar-benar sudah diteliti dengan masak-masak, UMKM kita enggak laku karena e-commerce,” ujar Tesar.
Baca Juga
Hal ini juga akan menimbulkan gelombang protes dari konsumen e-commerce ataupun social commerce. Para konsumen yang kebanyakan berasal dari menengah ke bawah tentunya akan menjadi kesulitan dengan batasan harga ini.
Dikutip dari data Jakpat pada 2022, 86 persen masyarakat Indonesia hanya menghabiskan kurang dari Rp1 juta untuk belanja di e-commerce. Diketahui, 25 persen di antaranya bahkan menghabiskan kurang dari Rp200.000.
Lanjutnya, regulasi ini akan menimbulkan masalah baru, yang mana penjual akan mencari cara lain untuk berjualan produk impor.
“Nanti mereka akan jualan bukan dari e-commerce rasanya. Pasti kucing-kucing-an jadinya. Nanti akan buat website, akan dari Instagram, nanti DM (direct message). Orang Indonesia engga bisa ditutup,” ujar Tesar.
Oleh karena itu Tesar menyarankan agar pemerintah lebih baik memberikan bantuan secara langsung ataupun dengan pelatihan dan subsidi dibandingkan memperbaharui regulasi ini. Menurutnya, untuk menaikkan daya saing UMKM bukan menghilangkan musuhnya melainkan meningkatkan kualitas dalam negeri.