Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi China kehilangan momentum dan melambat. Beberapa ekonom bahkan memperkirakan China mengalami stagnasi ala Jepang yang akan mengecewakan berbagai pihak.
Mengutip Reuters, Selasa (18/7/2023), partner senior American Enterprise Institute Desmond Lachman mengatakan bahwa pertumbuhan China melambat 3 persen yang akan terasa seperti resesi ekonomi, di saat pengangguran usia muda di atas 20 persen.
"Ini juga tidak baik untuk ekonomi dunia lainnya", jelasnya.
Kemudian, Lachman juga mengatakan bahwa tidak mungkin ekonomi China akan melampaui AS dalam satu atau dua dekade mendatang.
Lantas, apa jalan keluar bagi China menurut para ekonom?
Kepala NDRC Zheng Shanjie membuat referensi langka mengenai jebakan pendapatan menengah dengan mengatakan China perlu mempercepat pembangunan sistem industri modern.
Baca Juga
Zheng merujuk pada perjuangan negara-negara berkembang untuk beralih dari tingkat pendapatan menengah ke tinggi karena kenaikan biaya dan penurunan daya saing.
Ekonom kemudian mengutip ledakan industri mobil listrik di China sebagai bukti kemajuan. Namun, banyak kompleks industri tidak mengalami peningkatan dengan kecepatan yang sama. Penjualan mobil di luar negeri hanya menyumbang 1,7 persen dari ekspor.
"Banyak pengamat akan melihat beberapa perusahaan dan berkata, wow, China bisa menciptakan produk-produk fantastis seperti ini, jadi masa depan harus cerah. Pertanyaannya adalah: Apakah kita memiliki cukup banyak perusahaan seperti itu?" jelas kepala ekonom di Institut Penelitian Nomura, Richard Koo.
Ekonom China di Fathom Consulting, Juan Orts, juga mengatakan bahwa peningkatan permintaan konsumen mungkin akan mengalihkan sumber daya dari mendukung eksportir manufaktur, yang sebagian menjelaskan keragu-raguan terhadap reformasi semacam itu.
"Kami tidak berpikir pihak berwenang akan mengambil jalan itu," kata Orts, yang menggambarkannya sebagai jalan keluar dari lesunya ekonomi.
Kemudian, banyak ekonom yang menyerukan perawatan kesehatan publik yang lebih baik, tunjangan pensiun dan pengangguran yang lebih tinggi, dan hal lain yang membentuk jaringan pengaman sosial agar konsumen percaya diri agar deposit China tidak bertumpuk.
Wakil dekan di Shanghai Advanced Institute of Finance, Zhu Ning, mengatakan peningkatan kesejahteraan sosial dapat membuat tingkat pertumbuhan 3-4 persen lebih berkelanjutan.
Koo mengatakan bahwa masalah China lebih menantang daripada Jepang satu generasi yang lalu. Koo juga menilai bahwa China mengalami resesi neraca dengan konsumen dan bisnis membayar utang alih-alih meminjam dan berinvestasi.
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa stimulus harus produktif dan dilengkapi dengan perubahan agar sektor swasta bangkit, termasuk melalui hubungan yang lebih baik dengan negara sumber investasi asing.
Namun China juga perlu memperhatikan dalam investasi infrastruktur, karena dalam beberapa tahun terakhir menghasilkan lebih banyak utang daripada pertumbuhan.
Persaingan dengan AS
Ketika berbagai negara besar mencoba untuk mengurangi ketergantungan dengan China, Negeri Panda tersebut terkunci dalam pertempuran perdagangan. Contohnya mengenai pembatasan ekspor logam yang digunakan dalam semikonduktor.
"Setiap kali AS mengumumkan beberapa kebijakan anti-China, pemerintah China muncul dengan kebijakan yang setara. Tapi Amerika tidak berada dalam perangkap pendapatan menengah. China berada," jelas Koo.
Menurut Koo, jika rakyat China tidak mencapai impian mereka, maka negara tersebut memiliki 1,4 miliar orang yang tidak terlalu bahagia dan dapat menyebabkan ketidakstabilan.