Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat ekonomi menyoroti penyebab kondisi manufaktur China yang kendur dalam tiga bulan terakhir, salah satunya akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) yang terus berlanjut.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan penyebab utama kontraksinya industri manufaktur China adalah berlanjutnya perang dagang dengan Amerika Serikat, menyeret serta bahan baku chip masuk ke dalam konflik keduanya.
“Industri manufaktur China melambat disebabkan berlanjutnya efek perang dagang dengan AS yang saat ini diperluas ke bahan baku chip,” tutur Bhima, Kamis (13/7/2023).
Diketahui negara Tirai Bambu dan Negeri Paman Sam tersebut memang berseteru dalam urusan perdagangan selama bertahun-tahun.
Selain perang dagang, Bhima menyebut penyebab kendurnya industri manufaktur China juga disebabkan oleh pelambatan di sektor properti yang membuat permintaan barang industri terkait konstruksi seperti besi baja, semen, keramik dan kaca ikut menurun.
Salah satu dampak dari pelambatan industri yang berkaitan dengan properti ini adalah meningkatnya impor produk keramik China ke Indonesia, hingga meresahkan pelaku industri keramik dan membuat utilitas sektor tersebut turun pada kuartal I/2023.
Baca Juga
Tidak hanya itu, Bhima bahkan memproyeksikan perekonomian China akan terus oleng bahkan sampai tahun depan. “Situasi di China sampai 2024 bahkan diperkirakan terus melambat dan tidak menutup akan terjadi resesi,” tambahnya.
Dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2023, China memang tumbuh di bawah Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2023 mencapai 5,03 persen persen secara tahunan (year-on-year/yoy), sementara dengan periode yang sama pertumbuhan ekonomi China hanya berada di level 4,5 persen.
Bhima juga menuturkan, kondisi lemahnya perekonomian China ini kemudian berdampak pada kegiatan ekspor berbagai produk Indonesia ke China yang mulai terkoreksi sejak awal 2023.
"Sebagai mitra dagang terpenting Indonesia, beberapa bahan baku yang di ekspor ke China seperti CPO, batubara mulai alami koreksi yang dalam sejak awal tahun ini," tutup Bhima.
Meskipun, dilihat dari volume dan nilai ekspor masih tercatat meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang Januari hingga April 2023, volume ekspor Indonesia ke China mencapai 89 juta ton dengan nilai US$21,41 miliar atau setara dengan Rp320,37 triliun (dengan kurs Rp14.964).
Angka ini meningkat dibandingkan ekspor Indonesia ke China pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$18,76 miliar atau setara Rp280,72 triliun dengan volume 62,1 juta ton.
Begitu pula jika dibandingkan dengan volume dan nilai ekspor ke negara yang sama pada 2021. Pada 2021 ekspor Indonesia ke China mencapai 79,49 juta ton dengan nilai US$414,31 miliar atau setara dengan Rp214,13 triliun.
Sebelumnya dalam catatan Bisnis.com, Senin (11/7/2023), skor manufaktur negeri Tirai Bambu tercatat jeblok selama tiga bulan terakhir, mulai April hingga Juni 2023.
Pada Juni 2023, S&P Global mencatat skor purchasing manager’s index (PMI) manufaktur Indonesia capai angka 52,5, cukup jauh dibandingkan China sebesar 49 poin atau berada di level kontraksi.
Sebagai gambaran, PMI menggunakan angka 50 untuk netral. Nilai di atas garis tengah ini menunjukkan ekspansi. Adapun sebaliknya, saat indeks di bawah nilai 50 terjadi perlambatan atau kontraksi.
Bulan sebelumnya, Mei 2023 meskipun Indonesia mengalami level ekspansi yang tipis pada angka 50,3, namun skor ini masih lebih tinggi dari China yang tercatat pada angka 48,8.
Lalu April, Indonesia pada skor 52,7 dan China memasuki masa awal kontraksi dengan skor 49,2. Hal ini dikarenakan pada Maret 2023, skor manufaktur China masih berada di level ekspansi, 51,9. Skor tersebut sama persis dengan skor manufaktur Indonesia pada bulan yang sama.