Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Redenominasi Rupiah, dari Waktu yang Tepat hingga Dampaknya

Redenominasi merupakan rencana pemerintah dengan BI, tetapi perlu pertimbangan matang dalam pelaksanaannya. Berikut waktu yang tepat dan dampak dari redominasi.
Ilustrasi Rupiah. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan rencana implementasi redenominasi rupiah. JIBI/Bisnis.com
Ilustrasi Rupiah. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan rencana implementasi redenominasi rupiah. JIBI/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Redenominasi rupiah memang telah menjadi rencana pemerintah dan Bank Indonesia sejak 2010, tetapi hingga saat ini masih menunggu waktu yang tepat dalam penerapannya. 

Setidaknya, kondisi ekonomi Indonesia harus sudah sehat sebelum menerapkan penyederhanaan mata uang ini. Pertama, kondisi makro dalam situasi baik. Kedua, stabilitas moneter dan sistem keuangan terjaga. Ketiga, situasi sosial-politik yang kondusif.  

Tiga syarat ini harus komplit terpenuhi jika Indonesia ingin menyederhanakan rupiah, dari Rp10.000 menjadi Rp10, atau Rp5.000 menjadi Rp5. 

Meski belum diterapkan, ada banyak contoh negara yang telah melakukan redenominasi. Melansir dari laman Bank Indonesia, dari puluhan negara yang telah melakukan redenominasi, beberapa di antaranya berhasil dan beberapa lainnya gagal. 

Salah satu indikator keberhasilan penerapan redenominasi adalah tingkat inflasi setelah redenominasi diterapkan. Kebijakan tersebut dikatakan gagal, jika terjadi inflasi yang tinggi atau hiperinflasi setelah penerapannya.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menyatakan bahwa kegagalan selain terjadi hiperinflasi, juga nilai rupiah terus tergerus sehingga kembali kehilangan nilainya. 

Meski demikian, Piter melihat kecil kemungkinan Indonesia akan gagal dalam penerapan redenominasi. “Tetapi ini kecil kemungkinan terjadinya di Indonesia karena kondisi makro kita [Indonesia] cukup kuat dan stabil,” ujarnya, Kamis (6/7/2023). 

Menurut Piter, jika redenominasi dilakukan secara sangat terencana dan melalui proses yang panjang, serta mendapat dukungan dari pemerintah dan masyarakat, besar kemungkinan kebijakan ini akan berjalan sesuai rencana. 

Umumnya, negara yang gagal menerapkan penyederhanaan ini disebabkan oleh kondisi makro ekonomi yang tidak stabil saat penerapan terjadi. 

Persiapan yang tidak cukup dan dilakukan secara tergesa-gesa juga menjadi penyebab negara-negara tersebut gagal menerapkan redenominasi. 

Menunggu Waktu yang Tepat

Piter menambahkan, bahwa Indonesia sudah sangat siap untuk menerapkan hal ini, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. 

“Kalau saya memperkirakan tidak akan terjadi gejolak [saat Indonesia menerapkan redenominasi] karena masyarakat sudah melaksanakannya secara sehari-hari. Persiapan BI juga sudah sangat bagus, enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” tambah Piter. 

Sementara itu, Gubernur BI Perry Wajiyo mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang bagus. 

Namun, BI menilai penerapan redenominasi membutuhkan ketepatan momentum sambil tetap memerhatikan kondisi perekonomian global yang kini sedang melambat.  

“Demikian juga stabilitas sistem keuangan kita bagus stabil, tetapi ketidakpastian global masih ada, sabar, dan kalau kondisi sosial politiknya tentu pemerintah lebih tahu,” tutur Perry, Kamis (23/6/2023).

Dampak Positif

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat dengan semakin sederhananya rupiah, dapat meningkatkan kredibilitas mata uang Indonesia tersebut di tingkat global.  

Rupiah yang dibandingkan dengan mata uang euro atau dolar, memiliki angka nol lebih banyak. Bahkan di luar negeri, rupiah tidak diperdagangkan karena dicap sebagai mata uang yang lemah bahkan tidak bernilai. 

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter memproyeksikan dari redenominasi akan membawa kebanggaan bagi rupiah dan mendorong masyarakat secara global untuk memegang rupiah.  

“Sekarang hasil ekspor diparkir diluar negeri dalam bentuk dolar, kalau rupiah sudah kuat, ada dorongan untuk pegang rupiah, ada potensi juga untuk meningkatkan DHE [devisa hasil ekspor], meski belum terbukti,” katanya.  

Melihat dari kacamata makro, apabila rupiah semakin kuat dan stabil dapat bantu jaga inflasi, aliran modal masuk akan lebih lancar, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper