Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Yusuf Rendy Manilet

Peneliti Center of Reform on Economics

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Proyeksi Kebijakan Fiskal di Tahun Politik

Defisit fiskal 2024 berkisar antara Rp 496,6 triliun hingga Rp 610,9 triliun, yang setara dengan 2,16% - 2,64% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ilustrasi rupiah
Ilustrasi rupiah

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyepakati Rancangan kebijakan fiskal tahun 2024.

Pendapatan negara untuk tahun 2024 ditargetkan mengalami peningkatan sekitar 11,69% dari target pendapatan negara tahun 2023 yang mencapai Rp 2.463 triliun. Sementara belanja negara untuk tahun 2024 ditargetkan mengalami kenaikan sekitar 14,53% dibandingkan dengan target belanja dalam APBN 2023 yang mencapai Rp 3.061,2 triliun.

Dengan konfigurasi demikian, Defisit fiskal 2024 berkisar antara Rp 496,6 triliun hingga Rp 610,9 triliun, yang setara dengan 2,16% - 2,64% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kata lain Kebijakan fiskal masih dirancang masih relatif ekspansif dan terarah.

Kebijakan fiskal di 2024 patut menjadi perhatian karena selain menjadi rancangan APBN terakhir Pemerintahan saat ini, juga bersamaan dengan tahun politik. Dalam tataran teoritis, siklus tahun politik akan mempengaruhi bagaimana kebijakan fiskal suatu pemerintahan.

Nordhaus (1975) merupakan salah satu pionir yang mempelajari pengaruh siklus tahun politik terhadap perekonomian. Dalam siklus Bisnis Politik (Political Business Cycles), dengan menggunakan instrumen kebijakan kontrol ekonomi, seperti instrumen fiskal dan moneter, pemerintah dapat memanipulasi ekonomi untuk mendapatkan keuntungan pemilihan dengan menciptakan pertumbuhan dan mengurangi pengangguran sebelum pemilihan.

Adapun Kachelein, dkk (2010) menyebutkan, kinerja ekonomi pemerintah menentukan sejauh mana kemungkinan pemerintah untuk terpilih kembali oleh karena itu, aktor ekonomi mempengaruhi faktor politik dan sebaliknya. Petahana dapat menggunakan kekuasaan dan instrumen yang tersedia untuk mempengaruhi lingkungan ekonomi terutama sebelum pemilihan untuk meningkatkan kemungkinan terpilih kembali.

Di sisi lain, Berlemann dan Markwardt (2007) menunjukkan hasil pemilihan yang kompetitif jarang dapat diprediksi dengan pasti, sehingga proses demokratis menyisipkan unsur kejutan dan ketidakpastian dalam politik. Ketika partai politik yang mengikuti pemilihan memiliki preferensi ideologis yang berbeda dalam hal tujuan kebijakan makroekonomi, maka pemilihan demokratis juga menciptakan ketidakpastian terkait kebijakan ekonomi masa depan dan memicu fluktuasi ekonomi pasca pemilihan.

Konteks Indonesia

Lalau bagaimana tataran teoritis di atas dalam kontekstual tahun politik di Indonesia. Jika mengacu pada apa yang disampaikan Kachelein, dkk, tentu pemerintah saat ini tidak punya ‘kepentingan’ lagi dalam menggunakan instrumen yang tersedia dalam upaya untuk meningkatkan kemungkinan kembali terpilih.

Hanya, pemerintah masih tetap akan menjalankan kebijakan ‘memanipulasi ekonomi,’ seperti yang disampaikan Nordhaus, dengan tujuan yang berbeda. Melalui belanja bantuan sosial program-program anti kemiskinan seperti CCT (Conditional Cash Transfers), dengan cara memberikan uang kepada keluarga miskin, melalui perempuan, dengan syarat melakukan investasi dalam modal manusia anak-anak mereka, seperti kehadiran sekolah yang teratur, perawatan kesehatan pencegahan dasar, dan gizi yang lebih baik, masih akan dijalankan dalam kebijakan fiskal tahun 2024.

Dalam Aspek politik ekonomi, selain ingin menyasar beberapa tujuan utama seperti pengurangan tingkat kemiskinan ekstrim, berbagai program ini dapat memainkan peran dalam mempengaruhi partisipasi politik individu dalam bentuk pemilihan dan preferensi, memperkuat representasi demokratis, dan juga memberikan imbalan tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilihan.

Adapun unsur ketidakpastian yang muncul dari tahun politik pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi makroekonomi seperti misalnya investasi. Distorsi pada komponen investasi pada akhirnya akan berdampak pada PDB. Dalam tiga episode pemilihan umum terakhir, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto yang merupakan representasi dari investasi mengalami perlambatan pertumbuhan jika dibandingkan tahun sebelumnya (1 tahun sebelum pelaksanaan pemilu dilaksanakan).

Sehingga kebijakan fiskal, yang direpresentasikan dari belanja pemerintah, mempunyai peranan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di 2024, kondisi yang mirip akan berpeluang kembali terjadi, sehingga pemerintah perlu memastikan mitigasi hambatan dari kebijakan fiskal di tahun depan.

Di level pusat, kebijakan fiskal perlu memastikan beberapa pos terutama bantuan sosial (bansos) bisa terealisasikan secara optimal. Pemerintah perlu terus mendorong basis data program yang mampu menangkap kesejahteraan masyarakat yang sifatnya dinamis serta mempertimbangkan penyesuaian nilai manfaat program dan ketetapan waktu penyaluran bansos untuk efektivitas program bansos pada kebijakan fiskal pemerintah pusat.

Sementara di level daerah, percepatan adaptasi beberapa substansi UU HKPD terutama penyesuaian aturan terutama tentang Rancangan Peraturan Daerah (Rapenda) tentang pajak dan retribusi daerah perlu dilakukan di tahun ini. Hal ini untuk mitigasi potensi penundaan realisasi UU HKPD di tahun depan seiring pelaksanaan Pilkada dan juga pergantian kepemimpinan di banyak daerah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper