Bisnis.com, JAKARTA- Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menilai maraknya impor ilegal yang terjadi beberapa waktu terakhir disebabkan aturan izin yang belum direvisi di tengah melonjaknya permintaan.
Bahkan, GINSI menilai pemerintah perlu memberesi izin impor yang belakangan malah menyusahkan importir. Alhasil, dari berbagai tindakan pengamanan atas barang impor ilegal, terdapat potensi besar bagi pemasukan negara yang hilang.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat pelanggaran impor dalam empat tahun terakhir makin marak. Selama 2022, perkiraan nilai impor ilegal mencapai Rp214,7 miliar, naik pesat dibandingkan 2021 yang hanya Rp9,6 miliar, sementara pada 2020 mencapai Rp7,4 miliar dan pada 2019 sekitar Rp29 miliar.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat GINSI Subandi menilai bahwa impor ilegal yang dilaporkan Kemendag sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan realitasnya di lapangan. Dia mengatakan biasanya terjadinya impor ilegal disebabkan permintaan tinggi tapi regulasinya tidak memungkinkan orang importasi.
“Makanya adanya penyelundupan, macam-macam juga kan penyelundupan juga. Bisa tidak sesuai fisik dokumennya, bisa barangnya ditaro dimana dulu. Yang diberitakan disitu tidak sebanding dengan yang diberitakan, menurut saya. Tapi seolah seolah pemerintah menyelamatkan sekian miliar,” ujar Subandi saat dihubungi Bisnis, Rabu (28/6/2023).
Kata dia, GINSI sejatinya tidak mendukung penyelundupan apapun alasannya. Hanya saja, menurut Subandi, pemerintah harus sadar bahwa terdapat banyak kebutuhan.
Baca Juga
“Jadi pemerintahnya juga supaya perilaku importir yang tidak nakal jadi nakal. Benahi tata kelolanya, dibenerin aturannya supaya tidak ada importir yang melakukan penyelundupan,” kata Subandi.
Dia mengungkapkan, salah satu maraknya impor saat ini terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang revisinya tak kunjung diteken Presiden Joko Widodo. Akibatnya, dari 15 Desember hingga saat ini impor khususnya untuk komoditi besi baja dan turunannya, ban, maupun tekstil tidak diproses izinnya.
“Akibat belum dijalankan, potensi pendapatan negara barang yang harus diimpor itu tidak ada kan. Sama yang menyelundupkan itu terdesak permintaannya, terdesak dia, dalam dokumennya apa tapi fisiknya lain,” ungkap Subandi.
Dalam PP 28/2021 itu, Subandi menjelaskan jika pemerintah hanya mengizinkan praktek impor oleh importir produsen. Masalahnya, ujar dia, industri dalam negeri biasanya membutuhkan jasa importir umum.
“Sekarang importir umum tidak boleh. Dari 150 importir umum kita melakukan kajian, potensi kehilangan transaksi perdagangan itu bisa triuliunan per bulan. Itu hasil diskusi kita,” ujarnya.
Dampaknya, Subandi mengakui, jika banyak importir terpaksa memakai cara-cara tidak halal akibatnya permintaan tinggi lantaran stok barang untuk industri abis. Menurutnya, praktek impor illegal tersebut tak jarang melibatkan apparat negara.
“Mau tidak mau supaya industri berjalan pake cara itu. Borongan itu pemain borongan, importir kerja sama-sama Bea Cukai biasanya. Pintunya Belawan, pintu Batam dan pintu Jawa Timur masuknya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Subandi berharap agar pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk segera menandatangani revisi PP 28/2021 agar kegiatan importasi kembali bisa dilaksanakan. Pasalnya, saat ini kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri sangat tinggi.
“Hari ini saya minta ke setneg [sekretariat negara] agar presiden menandatangani itu. tapi presiden masih sibuk belum ditanda tangan-tanda tangan. Ketika ini ditandatangani sekarang pun harus ada peraturan teknis. Masih panjang nih,” ujarnya.
Subandi mengatakan jangan sampai peraturan teknisnya tidak mengakomodir kebutuhan industri dan berlarut-larut penyusunannya. Jika hal tersebut terjadi, kata dia, keberlangsungan industri dan eksistensi pekerja jadi taruhannya.
“Akibatnya akan terjadi PHK besar-besaran. Jadi penyelundupan itu lebih, ya buatkan dong aturannya. Kalau hanya tangkep tangkep sekian miliar itu terlalu kecil. Dengan tidak adanya aturan itu menghilangkan kesempatan kerja, pajaknya, pajak karyawannya. Tidak sebanding lah,” ungkapnya.