Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta memanfaatkan keuntungan dari surplus perdagangan selama 37 bulan berturut-turut untuk menggerakkan industri dalam negeri. Diharapkan Indonesia bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah pada 2035 atau selambat-lambatnya 2045 saat umur Indonesia 100 tahun.
Adapun neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2023 sendiri kembali melanjutkan tren surplus senilai US$0,44 miliar. Meski terendah, surplus neraca perdagangan ini melanjutkan tren surplus sebelumnya yang terjadi sejak Mei 2020.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Fithra Faisal Hastiadi mengatakan saat pandemi Covid-19 Indonesia dianugerahi keberkahan dengan meningkatnya harga komoditas nasional di pasar global.
“Saya menyebutnya the necessery evil, karena selama pandemi mungkin saja kita akan mendapatkan surplus yag berlimpah dari supply demand gap di dunia. Karena pandemi itu, satu sisi ada satu semacam stimulus untuk menggencarkan demand-nya, sementara supply-nya terhambat karena akibat pandemi,” ujar Fitra dalam diskusi, Rabu (21/6/2023).
Dia menjelaskan bahwa windfall (durian runtuh) komoditas selama pandemi tersebut sudah diprediksinya sejak awal 2020. Meski demikian, dia juga memperkirakan bakal terjadi kelangkaan komoditas pangan kala Covid-19 mewabah.
“Saya inget sekali pada 8 Mei 2020, saya datang ke ruangan Pak Menteri Perdagangan Agus Suparmanto memberikan penerawangan mengenai pandemi dan post pandemic. Ada kekhawatiran menurut saya akan ada barang barang kebutuhan tertentu yang pastinya langka, salah satunya minyak goreng 2021 terbukti langka,” tutur Fitra.
Baca Juga
Kembali soal surplus ekspor, Fitra yang juga Direktur Next Policy itu juga mengatakan bahwa hal itu pernah disampaikan Guru Besar Harvard Univesity dan mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Lawrence Summers. Menuru dia, kata Faisal, negara-negara berkembang bakal lebih tahan krisis selama Covid-19 dibanding 2008 lantaran ditopang perekonomiannya oleh ekspor komoditas.
“Waktu itu Larry [Lawrence] Summers bilang, bahwa negara berkembang saat ini dibanding 2008 ketika global financial crisis yang memicu tapertantrum karena over stimulus dan itu akhirnya dikurangi. Itu perbedaannya adalah sekarang negara berkembang yang berlimpah komoditas akan terjaga makro ekonominya,” jelas Fitra.
Menurut dia, dengan surplus perdagangan itu, Indonesia tidak terlampau kesulitan dalam sisi likuiditas. Kata Faisal, surplus tersebut tentunya penting untuk target ekonomi jangka menengah-panjang Indonesia untuk keluar dari middle income trap.
“Bahwa kita kita bergantung ekspor karena apa, karena tujuan menengah jangka panjang kita tahun 2045, umur 100. Tapi itungan teknokratiknya 2035,” ucapnya.
Indonesia sendiri, ujar Faisal, tetap bisa tumbuh ekonominya hingga 6 persen pada 2035. Dengan asumsi ekspornya mesti 9 persen dari Product Domestik Bruto (PDB) dan manufakturingnya minilam 22-23 persen mendominasi, alih-alih tetap mengandalkan ekspor komoditas.
“Padahal sekarang sudah 19-20 persen [kondtribusi manufaktur terhadap ekspor]. Tapi harus dinaikkan lagi. Cuma harus ada duitnya. Dari mana? Gak ada. Gimana?
Menurut dia, salah satu caranya pemerintah harus mengalihkan keuntungan surplus komoditas selama ini untuk menggairahkan sektor industri dalam negeri. Sebab, tanpa itu, Indonesia tetap akan menjadi negara pendapatan menengah.
“Jadi kelimpahan ekspor komoditas ini harus masuk ke ditransformasikan ke sektor keuangan. Untuk bisa mampu industri ini bangkit. Karena industri ini tidak dihidupi. Yang menghidupi industri kita perbankan luar negeri juga kebanyakan. Yang terjadi parkir dana disitu,” ucap Fithra Faisal.