Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo mempertanyakan keseriusan Kementerian Perdagangan untuk menyelesaikan pembayaran utang rafaksi atau selisih harga jual minyak goreng.
Aprindo bahkan menuding Menteri Perdagangan (Mendag) saat ini, Zulkifli Hasan enggan ‘mencuci piring’ atas peraturan menteri yang bukan dibuat dan ditandatanganinya.
Aturan yang dimaksud, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit yang dibuat dan ditandatangani oleh Mendag sebelumnya, Muhammad Lutfi.
“Mungkin Mendag [Zulhas] agak lupa bahwa amanah yang diembannya dari presiden bukanlah secara perseorangan, tetapi amanah yang diembannya adalah mewakili satu institusi negara,” kata Roy dalam keterangannya, dikutip Senin (12/6/2023).
Roy menilai praktik mengulur waktu yang tak bertanggung jawab jelas menjadi sinyal serius atau tidaknya pemerintah melalui Kemendag dalam menyelesaikan utang rafaksi minyak goreng kepada peritel modern di seluruh Indonesia.
Aprindo berharap kasus ini dapat segera diselesaikan. Sebab jika tidak segera diselesaikan, ini akan menjadi citra buruk pemerintah yang tak mampu memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha yang juga berdampak buruk terhadap iklim bisnis dan investasi lantaran ketidakpastian hukum yang bisa saja memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
"Aprindo akan mengambil langkah tegas dan terukur untuk kasus rafaksi yang berlarut-larut ini," kata Roy.
Sebagaimana diketahui, masalah pembayaran utang selisih harga jual atau rafaksi minyak goreng antara pengusaha dengan pelaku usaha soal belum juga menemui titik terang.
Persoalan ini bermula dari diterapkannya kebijakan minyak goreng satu harga untuk mengendalikan harga minyak goreng di pasaran yang melambung tinggi.
Mendag kala itu, Muhammad Lutfi, menerbitkan Permendag No.3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Melalui beleid itu, pemerintah menyediakan dana pembiayaan minyak goreng kemasan yang disalurkan oleh BPDPKS untuk menutup selisih antara harga acuan keekonomian dengan harga eceran tertinggi yang dipatok Rp14.000 per liter. Pembayaran dana tersebut dilakukan paling lambat 17 hari kerja setelah peritel melengkapi dokumen pembayaran kepada BPDPKS.
Namun, tak berapa lama, beleid tersebut dicabut dan digantikan dengan Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Dicabutnya Permendag No.3/2022 membuat pembayaran rafaksi menjadi tidak jelas.
Untuk mencari jalan keluar atas persoalan tersebut, Kemendag, di bawah kepemimpinan Zulhas meminta pendapat hukum dan pendampingan hukum ke Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pembayaran rafaksi minyak goreng.
Namun, Zulhas nyatanya tak mau terburu-buru untuk membayar rafaksi minyak goreng kepada produsen, meski Kejagung dalam pendapat hukumnya menyebut masih terdapat kewajiban hukum BPDPKS untuk menyelesaikan pembayaran dana pembiayaan.
Terbaru, Zulhas meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meninjau ulang hasil verifikasi PT Sucofindo terkait klaim pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng ke pelaku usaha.