Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi Mau Bikin Kartel Mineral, Luhut: Kita Jangan Mau Didikte!

Presiden Jokowi tengah menggalang dukungan untuk membentuk mineral kritis dan hutan tropis. Sementara Luhut berpendapat negara berkembang tidak boleh didikte.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi tengah menggalang dukungan dari 12 negara Afrika dan 8 negara Amerika Latin untuk membuat aliansi negara penghasil mineral kritis dan hutan tropis atau yang belakangan disebut sebagai Global South Cooperation. 

Jokowi bersama dengan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva rencananya bakal bertemu dengan Presiden Kongo Félix Tshisekedi di Ibu Kota Kongo, Kinshasa pada 25 Agustus 2023.

Ketiga pemimpin negara berkembang dari tiga benua berbeda itu dijadwalkan untuk menandatangani kesepakatan terkait dengan inisiatif Global South Cooperation tersebut. Selanjutnya pada Oktober 2023, 12 negara Afrika dan 8 negara Amerika Latin bakal bertemu di Bandung untuk menindaklanjuti inisiatif Global South Cooperation tersebut.

“Mereka akan ke Bandung untuk buat kesepakatan, ini orang bertanya dari berbagai pihak [Global South Cooperation] ini apa, kalau sebagai guyon ini mirip dengan kartel, negara berkembang tidak boleh didikte, negara berkembang harus nikmati nilai tambah yang ada di mineral kritisnya,” kata Luhut saat rapat di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Jumat (9/6/2023).

Luhut sepintas mengatakan manuver aliansi kartel dari negara berkembang ini juga sebagai bentuk antisipasi terhadap diskriminasi perdagangan dari beberapa negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Dia mengatakan lewat pembentukan aliansi produsen hutan tropis dan mineral kritis itu, beberapa negara berkembang dapat lebih mandiri untuk menikmati nilai tambah sumber daya mereka di dalam negeri.

“Sehingga negara kita seperti Indonesia, negara berkembang tidak diatur lagi dengan negara-negara maju yang harus [wajibkan] bebas ekspor mineral mentah kita, kita kapan maju? Saya betul-betul bicara dengan teman-teman di Amerika Serikat,” kata dia.

Seperti diketahui, posisi Indonesia belakangan makin terpojok setelah pemerintah Amerika Serikat (AS) menerbitkan kebijakan Undang-Undang (UU) Penurunan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA).

Kebijakan yang tidak memasukkan mineral kritis Indonesia sebagai penerima kredit pajak energi baru terbarukan (EBT) AS itu membuat investasi hijau justru bimbang di dalam negeri. Pemerintah AS mendiskriminasi mineral kritis Indonesia yang dianggap turut jadi perhatian IRA lantaran sebagian besar smelter domestik dikerjakan perusahaan China.

Sebelumnya, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) meminta Jokowi untuk mencari solusi atas kebijakan UU Penurunan Inflasi atau IRA Amerika Serikat yang telah mengubah peta investasi global saat ini.

Permintaan itu disampaikan berkaitan dengan komitmen konsorsium LG Energy Solution (LG) agar tetap berinvestasi pada sisi penghiliran bijih nikel menjadi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dalam usaha patungan bersama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC).

“Tadi pemerintah Korea Selatan juga minta perhatian khusus ke Presiden [Jokowi] menyangkut dengan perjanjian kita dengan Amerika Serikat, menyangkut IRA, rantai pasok,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia selepas menemani Jokowi bertemu dengan 16 delegasi perwakilan pemerintah dan pengusaha Korea Selatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/5/2023).

Penggunaan komponen baterai berbahan baku mineral kritis yang berasal dari Indonesia dikhawatirkan tidak akan mendapat insentif kredit pajak IRA AS. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel di dalam negeri.

“Global sekarang dalam kondisi tarik menarik kepentingan, akhir-akhir ini Amerika Serikat dan Eropa mulai berpikir bahwa salah satu negara yang investasinya kalau terlalu banyak cenderung keberpihakannya itu akan dikenakan pajak dumping di sana,” kata Bahlil. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper