Bisnis.com, JAKARTA - Penggolongan jamu sebagai obat bahan alam dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) dinilai dapat mematikan industri jamu dalam negeri.
Berdasarkan draf RUU Kesehatan, Pasal 338 mengatur bahwa obat bahan alam digolongkan menjadi jamu dan obat herbal. Jamu yang dimaksud terdiri atas jamu empiris, jamu terstandar, dan jamu fitofarmaka, sedangkan obat herbal terdiri atas obat herbal terstandar, obat herbal fitofarmaka, dan obat herbal impor.
Pengamat jamu Charles Saerang mengatakan, jamu seharusnya dipisahkan dari kategori obat. Hal ini lantaran akan menyempitkan pengertian jamu sebagai bagian bahan konsumsi masyarakat Indonesia selama ribuan tahun.
Menurut dia, jamu lebih cocok dikategorikan sebagai suplemen kecuali jika jamu tersebut telah diuji secara ilmiah atau sudah fitofarmaka.
“Jamu itu harus dipisahkan dengan obat. Jangan jamu dimasukkan ke dalam obat. Kecuali jamu itu sudah diuji lewat fitofarmaka. Kalau itu jadi produk unggulan kita, budaya kita. Itu kan jamu bentuknya preventif dan promotif bukan kuratif [layaknya obat],” ujar Charles kepada Bisnis, Kamis (8/6/2023).
Generasi ketiga pendiri jamu Nyonya Meneer itu menuturkan, jika jamu masuk dalam RUU Kesehatan berarti bahan rempah-rempah itu dianggap obat dan terbatas penggunaannya.
Baca Juga
“Bagaimana budaya minum kunyit, minum jahe sudah dilakukan ribuan tahun sekarang harus ada pagar pagar, dijaga untuk tidak lebih dari itu. Minum jahe kan tiap hari kita, minum teh aja begitu, kan itu budaya. Kalau banyaknya regulasi justru tidak bakal menjadi berkembang,” ujar Charles.
Dengan begitu, dia menilai industri jamu pun bakal sulit berkembang, sebab apabila dikategorikan obat harus terlebih dulu dilakukan pengujian secara ilmiah dan hal tersebut tentunya membutuhkan biaya besar.
“Itulah kendala, banyak yang mengatakan masa depan jamu ke mana perginya. Setiap tahun toko-toko jamu itu tidak berkembang. Kayak berdiri aja tidak ada perkembangan sama sekali. Kalau mau diilmiahkan silakan saja. Cuma pengusaha jamu ketika itu mau dijadikan fitofarmaka itu pengujiannya 5-10 tahun. Butuh biaya besar,” tutur mantan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) itu.
Charles mengatakan, jamu merupakan bagian dari herbal, bukan sebaliknya. Menurutnya, RUU Kesehatan tersebut akan mempersulit jamu untuk berkembang.
“Kalau pemerintah menyebut herbal bagian dari jamu salah. Jamu bagian dari herbal. Jadi herbal lebih besar. itu termasuk suplemen dan lain sebagainya. Kalau jamu kita ini bagian dari kehidupan masyarakat. Bukan pengobatan. Kalau dimasukkan pengobatan itu sempit. Padahal lingkup jamu lebih dari kesehatan. Minum jamu, kunyit, empon empon itu kan minuman sehari hari. Industri jamu itu saya khawatir dipersulit berkembang dengan RUU ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Charles yang saat ini sedang mengembangkan jamu biotek ini mengusulkan agar jamu diurus oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saja, bukan kesehatan. Hal tersebut, justru bakal menjadikan jamu sebagai produk unggulan budaya Indonesia.
“Dulu pernah bilang ke Pak Jokowi sebagai Ketua GP Jamu di istana, tolong jamu dimasukkan ke perindustrian bukan kesehatan supaya berkembang. Meskipun ada pengawasan dari kesehatan. Sekarang yang bermain dari hulu ke hilir tidak perindustrian total tapi kesehatan yang bermain,” ungkapnya.