Bisnis.com, JAKARTA- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menaksir kerugian akibat kebijakan agresif terhadap industri tembakau yang mencapai Rp103 triliun.
Indef melaporkan kerugian ekonomi yang akan ditanggung negara jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana UU No 17/2023 tentang Kesehatan diterapkan.
Peneliti Indef Bidang Indsutri, Perdagangan, dan Investasi, Ahmad Heri Firdaus mengatakan berbagai aturan dalam RPP Kesehatan akan memicu kerugian di sejumlah industri seperti tembakau, ritel hingga industri kreatif yang berujung pada penurunan pendapatan ekonomi negara.
"Dampaknya apa ke kerugian ekonomi? Di sini kami lihat nilai PDB [Produk Domestik Bruto] yang hilang itu mencapai Rp103 triliun ini secara makro dan agregat," kata Heri di Jakarta, Rabu (20/12/2023).
Kerugian tersebut merupakan kalkulasi dari kerugian berbagai sektor dari hulu ke hilir industri tembakau hingga sektor lainnya seperti kerugian dari pembatasan iklan promosi hasil tembakau sebesar Rp4,39 triliun.
Selanjutnya, distributor atau ritel tembakau juga diproyeksi akan mengalami kerugian sebesar Rp19,63 triliun. Begitupun kerugian yang timbul dari pengurangan jumlah batang rokok dalam kemasan yang diestimasikan mencapai Rp79,06 triliun.
Baca Juga
Di sisi lain, Indef menyebutkan bahwa RPP Kesehatan dapat menghemat biaya kesehatan sebesar Rp34,1 triliun dari biaya pengeluaran untuk kesehatan maupun non kesehatan.
"Jika kebijakan ini diterapkan disinyalir akan menghemat biaya kesehatan Rp34 triliun, tetapi disisi lain malah ada loss ekonomi Rp103 triliun. Jadi hematnya gak seberapa dengan ruginya yang jauh lebih besar," tuturnya.
Lebih lanjut, laporan Indef juga menunjukkan potensi hilangnya penerimaan perpajakan secara kumulatif. Dari 3 skenario lingkup kajian yang dibuat, Indef menyimpulkan penerimaan pajak akan turun sebesar Rp52,8 triliun.
Dari segi lapangan usaha, RPP Kesehatan dapat menurunkan ouput industri rokok sebesar 26,49% yang diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerja sebanyak 10%.
Terlebih, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai PDB industri pengolahan tembakau sebesar Rp82 triliun pada harga konstan dan Rp135 triliun pada harga berlaku.
"Satu sisi kita ingin mengedepankan kesehatan tapi tentunya tidak dengan cara yang sporadis seperti itu, karena akan menimbulkan guncangan yang lebih besar disisi ekonomi ternyata," pungkasnya.