Bisnis.com, JAKARTA -- Institute for Essential Services Reform (IESR) mengevaluasi proses transisi energi yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah kebijakan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai sudah adanya sejumlah upaya riil yang dilakukan oleh pemerintah menuju transisi energi, yakni dengan melakukan perumusan kebijakan pendukung.
Fabby memaparkan sejumlah produk-produk regulasi yang paling nyata adalah dengan Perpres 112/2022 tentang Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, termasuk menyangkut adanya target untuk mengakhiri penggunaan PLTU pada 2050.
Kemudian, lanjutnya, pemerintah juga memiliki target yang cukup ambisius yaitu dekarbonisasi sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030 dan bauran energi terbarukan sebesar 34% persen pada 2030. Angka ini jauh lebih tinggi dari target rencana PT PLN (persero) maupun rencana yang ada dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2030.
“Saat ini, pemerintah juga tengah menyusun bersama dengan DPR yaitu RUU EBT kendati proses pengundangan belum selesai dan pembahasan di DPR masih belum rampung. Walaupun saya melihat rumusan itu nggak sesuai dengan tujuannya ya, tapi okelah kita lihat semangatnya ada ya untuk meningkatkan energi terbarukan,” terangnya kepada Bisnis, Senin (5/6/2023).
Langkah nyata dari Pemerintah lainnya, sebutnya, adalah proses untuk merevisi kebijakan Energi Nasional agar selaras dengan target pada 2045.
Baca Juga
“Setahu saya bulan Mei kemarin sudah turun Keputusan menteri SDM untuk pembentukan tim yang melakukan revisi terhadap kebijakan energi nasional. Studinya sudah dilakukan dari tahun lalu dan artinya kalau sudah keluar keputusan Menteri tentang timnya berarti akan dilakukan dan targetnya akhir tahun ini revisi dari PP 79/2014 sampai akhir tahun,” terangnya.
Hanya saja, dalam porsi penyediaan energi terbarukan,dia juga menggarisbawahi sejak 2021, pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga 2023 ini belum sesuai dengan target. Semestinya, kata dia, setiap tahun harus ada penambahan pembangkit energi terbarukan di sistem PLN tetapi ternyata hingga kini penambahan tersebut belum selaras dengan RUPTL.
“Kalau kita lihat pelelangan, pengadaan pembangkit energi terbarukan selama 2 tahun terakhir itu tidak sesuai dengan jadwal. Misalnya ingin terbangun sekian juga di tahun 2025 kan harusnya pelelangannya pengadaannya udah dari 2020 bahkan atau paling lambat 2021, karena kan butuh waktu sampai kemudian jadi pembangkitnya. Nah, kami lihat target-target di tahun 2021 sampai 2023 ini sepertinya meleset dari RUPTL,” jelasnya.
Kondisi serupa terjadi saat Pemerintah mengharapkan dapat dengan cepat menaikkan target bauran energi terbarukan dari sektor PLTS Atap tetapi terkendala karena PLN menolak melaksanakan. Akibatnya pada 2023 itu perkembangan PLT tatap rendah sekali jauh di bawah target yang dicanangkan oleh Kementerian SDM. Padahal apabila hal tersebut berjalan sesuai dengan target semestinya Indonesia bisa memiliki tambahan 500 MW hingga 1 GB PLTAS Atap.
Alhasil, secara keseluruhan, dia menilai pemerintah telah memiliki komitmen rencana dalam melakukan transisi melaui upaya-upaya penyelarasan baik regulasi dan kondisi PLN.