Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Energi Nasional (DEN) tetap mempertahankan rencana moratorium ekspor gas pada 2035 kendati pertumbuhan ekonomi sempat terkoreksi selama 3 tahun terakhir akibat pandemi Covid-19.
Target itu tidak bergeser di tengah upaya pemerintah untuk menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun ini.
“Untuk target [moratorium ekspor] kita pertahankan, karena revisi ini juga belum selesai, tapi trennya yang kita pertahankan bahwa daya serap meningkat dalam negeri,” kata Anggota DEN Satya Widya Yudha saat dihubungi, Kamis (1/6/2023).
Satya mengatakan, lembaganya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dapat berkisar di angka 5,2 persen hingga 5,9 persen secara agregat sampai 2043. Hal ini yang menjadi dasar bagi sejumlah kebijakan strategis di sektor energi, termasuk larangan ekspor tersebut.
Menurut dia, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang terjaga di rentang itu dapat meningkatkan serapan gas domestik hingga diputus moratorium pada 2035 mendatang.
Di sisi lain, dia mengatakan, pemerintah tengah mendorong investasi yang intensif untuk meningkatkan infrastruktur penunjang serta distribusi gas di dalam negeri.
Baca Juga
“Kita mendorong pertumbuhan permintaan, sedang didorong juga investasi di infrastruktur,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah bakal menghentikan ekspor gas untuk kontrak baru seiring dengan fokus pengembangan industri bernilai tambah tinggi di dalam negeri beberapa waktu tahun terakhir.
Luhut mengatakan, rencana itu masih dimatangkan menyusul tren konsumsi domestik yang belakangan tumbuh signifikan. Dia juga menuturkan bahwa hal tersebut akan segera dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Bertahun-tahun kita ekspor LNG [liquefied natural gas], padahal kita butuh, sudah kita siapkan laporan ke presiden, kontrak yang sudah ada ya sudahlah jalan, tapi yang sudah selesai kita setop,” kata Luhut di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Luhut berpendapat moratorium ekspor itu bakal ikut membantu ongkos produksi gas di dalam negeri yang pada gilirannya ikut mendorong industri domestik lebih kompetitif.
“Kita mau gunakan di domestik supaya harga gas itu bisa US$6 per MMbtu atau mungkin bisa cost di mulut sumurnya itu kita tekan lagi, jadi efisiensi bottom line dan itu yang harus kita bangun,” kata dia.
Berdasarkan data milik Badan Pusat Statistik (BPS) volume serta nilai ekspor gas dengan kode HS 2711 itu mengalami penurunan yang cukup signifikan selama 10 tahun terakhir. Sepanjang 2022, volume ekspor tercatat sebanyak 16 juta ton atau merosot 6,76 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kendati demikian, nilai ekspor komoditas itu mengalami kenaikan 31,76 persen sepanjang 2022 di angka US$9,82 miliar akibat disrupsi pasokan global pada periode tersebut jika dibandingkan dengan pencatatan 2021 di level US$7,45 miliar.
Menilik tujuannya sepanjang 2022, Indonesia paling banyak mengekspor gas ke Singapura, yakni 4,90 juta ton. Selanjutnya, China menjadi pangsa pasar ekspor gas terbesar Indonesia dengan volume angkut sebesar 3,29 juta ton.
Selain itu, ekspor gas dari dalam negeri juga banyak dikirim ke Korea Selatan seberat 3,27 juta ton yang disusul Jepang dengan volume mencapai 2,54 juta ton.