Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Logistik Beras dan Kedelai di Indonesia Masih Tinggi, Ini Sebabnya

Masih terdapat sejumlah regulasi yang menghambat rantai pasok distribusi komoditas beras dan kedelai di Indonesia
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah regulasi dinilai masih menjadi penghambat kelancaran distribusi bahan pangan, seperti beras dan kedelai yang berimbas pada naiknya biaya logistik.

Ekonom Samudera Indonesia dan pemakalah 'Logistics Costs of Rice and Soybean: Issues, Challenges, and the Impact of Regulations' Adithya Prabowo menjelaskan, struktur biaya logistik di Indonesia umumnya didominasi oleh biaya transportasi (transportation costs) dan biaya persediaan (inventory costs).

Dia menjelaskan, sekitar 84 hingga 90 persen biaya logistik yang ditanggung produsen, pedagang, dan distributor beras berasal dari sektor transportasi, dengan sisanya adalah komponen biaya persediaan dan administrasi.

Sementara itu, importir kedelai menanggung sekitar 59 persen komponen biaya administrasi mengingat komoditas ini lebih banyak dikirim dari luar negeri, dengan 29 persen lainnya biaya transportasi dan sekitar 12 persen adalah biaya persediaan.

“Sementara itu, untuk pedagang kedelai mereka menanggung komponen biaya transportasi sekitar 78 persen, dengan sisanya adalah biaya persediaan,” jelas Adithya dalam diskusi daring 'Jalan Panjang Beras & Kedelai di Indonesia: Biaya dan Peran Regulasi dalam Logistik Pangan', Rabu (31/5/2023).

Adithya menilai ada lima poin peraturan yang menghambat rantai pasok distribusi komoditas beras dan kedelai di Indonesia, yang turut mengerek naik biaya logistiknya. Salah satu regulasi dinilai menghambat adalah mekanisme penentuan tarif yang berkaitan dengan produktivitas pelabuhan. 

Dia menjelaskan, pelaku usaha terkait sudah pasti akan meminta tarif yang didasarkan pada tingkat produktivitas sebuah pelabuhan. 

Kemudian, kebijakan karantina saat ini, khususnya terkait impor kedelai, dinilai berpotensi menambah waktu tunggu. Adithya mengatakan, proses karantina di pelabuhan Indonesia umumnya dilakukan setelah kapal berlabuh atau docking sehingga akan menimbulkan tambahan biaya dari sisi waktu.

Selanjutnya, impor kedelai juga masih harus menunggu keluarnya surat keterangan asal atau certificate of origin (COO) sebelum dapat dibongkar muat. Hal ini akan menimbulkan biaya tambahan dari sisi waktu yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat distribusi komoditas tersebut.

Masalah lain, lanjutnya, berkaitan dengan pengangkatan wajib (mandatory appointment) yang memberikan penugasan ke sebuah perusahaan logistik lokal di satu daerah. Dia menuturkan, proses distribusi beras dan kedelai akan terhambat jika tidak ada perusahaan pengangkut atau logistik di wilayah tujuan distribusi.

Terakhir, regulasi terkait referensi harga (price reference) untuk beras dan kedelai saat ini dinilai belum mampu merespons selisih harga atau gap yang telah muncul di pasar. 

Adithya memberikan beberapa usulan untuk memitigasi dan mengatasi masalah tersebut. Terkait tarif pelabuhan, dia mengusulkan pemerintah mematok batasan target produktivitas (threshold) pelabuhan. Pemerintah juga dapat memberikan insentif untuk pelabuhan yang mencapai target tersebut. 

“Upaya ini menurut saya juga berpotensi mengurangi stacking fee di pelabuhan,” jelas Adithya.

Sementara itu, untuk penerbitan surat keterangan asal, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan DJBC harus berkoordinasi intensif dengan negara-negara eksportir kedelai, terutama dalam hal integrasi data sehingga surat keterangan asal atau certificate of origin dapat dikeluarkan bahkan sebelum kapal pengangkut tiba di pelabuhan.

Adithya juga mengusulkan Kementerian Pertanian untuk mengembangkan sebuah metode karantina yang dapat dilakukan di dalam kapal sehingga proses tersebut tidak perlu dilakukan di darat setelah kapal berlabuh dan akan meningkatkan efisiensi biaya.

Lebih lanjut, dia mengusulkan regulasi mandatory appointment untuk armada pengangkut barang di sebuah daerah dapat direlaksasi. Menurutnya, pemerintah dapat menunjuk perusahaan logistik di luar wilayah distribusi sehingga dapat memenuhi target waktu pengiriman. 

Selanjutnya, refrensi harga untuk beras dan kedelai harus mampu merefleksikan kondisi harga di pasar dan menjadi pedoman untuk manajemen persediaan komoditas itu sehingga ketersediaannya dapat terjaga.

Adithya menyarankan perluasan stock management beras dan kedelai tidak hanya dilakukan oleh Bulog. Pemerintah dapat menunjuk pelaku usaha logistik dan pemilik gudang dari sektor swasta untuk turut terlibat dalam upaya ini.

“Upaya stock management baik oleh Bulog maupun pihak swasta ini juga dapat disertakan dengan subsidi yang fokus mendorong kelancaran manajemen persediaan komoditas beras dan kedelai,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper