Bisnis.com, JAKARTA — Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berencana memangkas anggaran dan pegawai secara besar-besaran setelah AS menghentikan pendanaan, memicu restrukturisasi menyeluruh demi menyelamatkan operasi organisasi global tersebut.
Melansir Bloomberg pada Senin (4/8/2025), rencana Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mencakup pemotongan anggaran dan jumlah pegawai masing-masing sebesar 20%, yang akan menurunkan total anggaran menjadi sekitar US$3,7 miliar—terendah sejak 2018. Adapun, sekitar 3.000 posisi kerja diproyeksikan akan dihapus.
Secara resmi, program reformasi ini dikaitkan dengan peringatan 80 tahun berdirinya PBB, bukan secara langsung dengan pemerintahan AS yang baru. Namun, skala pemangkasan mencerminkan ancaman serius terhadap dukungan AS, yang selama ini menyumbang sekitar 22% dari total anggaran PBB.
Presiden Donald Trump telah menghentikan pendanaan tersebut dan menarik AS dari sejumlah badan PBB, dengan evaluasi menyeluruh yang diperkirakan akan memicu pemotongan lebih lanjut.
“Kami tidak akan mendukung organisasi yang menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan AS,” ujar Juru Bicara Deputi Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, Kamis (31/7/2025).
Pemangkasan anggaran PBB terjadi seiring langkah Trump memangkas puluhan miliar dolar bantuan luar negeri demi memprioritaskan kepentingan domestik AS. Padahal, konflik yang memburuk di Timur Tengah, Ukraina, dan Afrika telah meningkatkan kebutuhan akan bantuan internasional.
Baca Juga
Setelah bertahun-tahun menghadapi tekanan keuangan, PBB di bawah Guterres sebenarnya telah merencanakan reformasi struktural besar. Pada Januari lalu, Guterres bahkan memperingatkan bahwa PBB tengah menghadapi krisis likuiditas penuh.
Total pengeluaran di seluruh sistem PBB diproyeksikan turun ke level terendah dalam satu dekade, hingga US$20 miliar lebih rendah dari puncaknya pada 2023.
“UN 80 ini pada dasarnya merupakan respons Sekjen terhadap tantangan yang dibawa oleh pemerintahan Trump jilid dua,” ujar Eugene Chen, peneliti senior di Center on International Cooperation, Universitas New York.
Rincian lengkap rencana restrukturisasi ini dijadwalkan diumumkan dalam rancangan anggaran September mendatang. Rencana tersebut mencakup perombakan banyak program PBB.
Guterres memang hanya mengontrol anggaran reguler PBB, yang merupakan sebagian kecil dari total pengeluaran lembaga dan badan afiliasinya. Lembaga seperti UNICEF dan UNESCO, yang juga menghadapi krisis pendanaan, dilaporkan akan turut memangkas anggarannya secara signifikan.
AS sendiri telah menghentikan dana untuk UNRWA (badan bantuan untuk pengungsi Palestina), keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB, serta menarik diri dari UNESCO.
Namun, rencana Guterres tak lepas dari kritik, baik dari sekutu Trump maupun dari dalam internal PBB.
“Ada program PBB yang seharusnya justru mendapat tambahan anggaran. Tapi ada juga yang seharusnya bukan sekadar dikurangi, melainkan dihapus sama sekali," kata Brett Schaefer, peneliti senior dari American Enterprise Institute yang konservatif.
Schaefer menyoroti lembaga seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan Program Pangan Dunia (WFP) yang dinilai mendukung kepentingan AS, sedangkan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) dan Dewan HAM PBB disebut memiliki mandat yang bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS.
Sementara itu, serikat pegawai PBB di Jenewa mengumumkan bahwa mereka telah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Guterres dan program “UN 80”.
“Para pegawai merasa pendekatan potong habis ini tidak memiliki fokus, tanpa tujuan strategis, dan justru membuat PBB menjadi semakin birokratis dan membengkak,” tulis Ian Richards, Ketua Serikat Pegawai PBB di Jenewa, di LinkedIn.
Mosi tersebut dinilai bersifat simbolis, menurut Eugene Chen dari NYU. Namun, dia menilai langkah Guterres bisa mempercepat adaptasi PBB menghadapi pemangkasan dukungan dari AS.
“Mungkin inilah sisi positifnya,” ujarnya. “Kita semua sedang dipersiapkan untuk reformasi.”