Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Vietnam Pangkas Ekspor Beras, Ini Catatan Pakar Soal Pertanian

Nasib Indonesia yang pernah berpredikat sebagai negara agraris terombang-ambing, saat produsen beras seperti Vietnam mampu mengelola ketahanan pangan.
Sejumlah buruh tani merontokkan padi dengan mesin saat panen di Desa Binangga, Sigi, Sulawesi Tengah, Minggu (12/3/2023). Memasuki musim panen raya padi hingga Mei mendatang, Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog untuk menyerap sebanyak 2,19 juta ton beras lokal dengan target pemenuhan sebesar 70 persen baik dengan skema cadangan beras pemerintah (CBP), fleksibilitas, maupun skema komersial. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa.
Sejumlah buruh tani merontokkan padi dengan mesin saat panen di Desa Binangga, Sigi, Sulawesi Tengah, Minggu (12/3/2023). Memasuki musim panen raya padi hingga Mei mendatang, Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog untuk menyerap sebanyak 2,19 juta ton beras lokal dengan target pemenuhan sebesar 70 persen baik dengan skema cadangan beras pemerintah (CBP), fleksibilitas, maupun skema komersial. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa.

Bisnis.com, JAKARTA- Di tengah antisipasi perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan, beberapa negara produsen beras mengerem ekspor. Teranyar, Vietnam bakal memangkas hampir separuh volume ekspor komoditas vital itu mulai 2030.

Sebaliknya, kondisi Indonesia yang pernah berpredikat sebagai negara agraris malah terombang-ambing. Pertambahan populasi dibarengi dengan penyempitan lahan pertanian, turunnya produktivitas, hingga nasib miris kaum tani.

Alhasil, hampir saban tahun, jumlah kebutuhan beras tidak diimbangi dengan volume produksi. Hal itu berujung Indonesia mengandalkan skema impor dari para produsen beras seperti India, Thailand, dan Vietnam.

Di sisi lain, persoalan pertanian atau pangan secara lebih luas, merupakan kunci menghadapi gejolak global. Energi dan pangan sampai kapanpun adalah kunci.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, kiranya catatan pakar pertanian patut ditengok. Salah satu tinjauan kritis itu datang dari Khudori, Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan dalam artikel di Bisnis Indonesia.

Berikut tinjauan kritis tersebut:

Berpuluh-puluh tahun berlalu, karakteristik produksi padi selama 50-an tahun terakhir tidak mengalami banyak perubahan. Jika pun ada perubahan perbedaannya tidak berarti. Pertama, pertanian padi diusahakan petani berlahan sempit.

Pada 1970-an dua pertiga petani padi hanya mengusahakan lahan kurang setengah hektare. (Geertz, 1963, Timmer, 1975). Saat ini, seperti dicatat Survei Pertanian Antar Sensus 2018, 9,8 juta (75%) dari 13,1 juta rumah tangga petani padi menguasai lahan kurang 0,5 hektare alias gurem.

Kedua, pola tanam tergantung pada cuaca dan iklim hingga membentuk ‘ritual’ panen yang ajek: musim panen raya (Februari—Mei dengan 60%—65% dari total produksi nasional), panen gadu (Juni—September dengan 25%—30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober—Januari).

Irama panen yang tak merata membuat harga berfluktuasi. Harga gabah/beras melorot saat panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik. Nasib petani terombang-ambing di antara dua kutub itu. Ini terjadi karena daya tawar petani lemah dalam perdagangan gabah amat rendah, sedangkan kebutuhan likuiditasnya tinggi.

Perpaduan produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastic, dan pasar gabah yang monopsonistik membuat fluktuasi harga gabah di petani amat tinggi dan tidak menentu. Jadi, di samping risiko produksi, petani juga menghadapi risiko harga. Ini membuat risiko usahatani padi tinggi.

Fluktuasi produksi dan harga juga menjadi risiko pedagang gabah. Akan tetapi, karena daya tawarnya tinggi, risiko diinternalisasikan pedagang ke ongkos pemasaran yang tinggi. Terjadilah paradoks produktivitas. Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usahatani dinikmati mereka yang di luar usahatani. Akibatnya, pendapatan riil petani kian tertinggal dari pendapatan di sektor non-usahatani.

Ketiga, surplus produksi tidak terjadi setiap bulan. Dalam setahun surplus produksi hanya berlangsung selama 5—8 bulan. Sisanya, 4—7 bulan, tergolong paceklik. Sementara kebutuhan konsumsi ajek: 2,5—2,6 juta ton beras per bulan.

Surplus produksi juga hanya terjadi pada 13—14 provinsi. Karakteristik demikian menuntut perlu adanya cadangan beras dalam jumlah cukup dan tersebar di seluruh wilayah.

Termasuk untuk menjawab apabila diperlukan untuk mengintervensi kegagalan pasar (market failure) atau terjadi bencana. Karena tingkat partisipasi konsumsi penduduk terhadap beras hampir sempurna: 99,63%.

Keempat, produksi padi terpusat. Sejak tahun pertama menargetkan swasembada beras sampai sekarang produksi masih terpusat di Jawa, dengan kontribusi terbesar dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat secara total mencapai 52%.

Enam provinsi di Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta) pada 2018—2022 menyumbang 54—56% dari produksi nasional. Kondisi ini tak banyak berubah dari 20—30 tahun lalu. Pada periode 1990—2001, 56% produksi padi disumbang Pulau Jawa. Kondisi ini memerlukan, pertama, cadangan beras dalam jumlah cukup. Cadangan ini dikumpulkan saat panen raya untuk didistribusikan ke pasar saat paceklik.

Selama ini, berapa jumlah cadangan beras pemerintah belum ditentukan pasti. Dengan jumlah penduduk yang besar, jumlah cadangan harus dipastikan keberadaannya.

Selanjutnya, perlu lembaga parastatal yang mengelola cadangan, memiliki infrastruktur pergudangan, dan distribusi yang handal untuk memastikan pasokan tersedia merata dan pasti di seluruh wilayah. Dengan jejaring 1.600-an gudang berkapasitas 4 juta ton, kapasitas Bulog sebagai pengelola CBP tak tersaingi oleh korporasi lain. Akan tetapi, BUMN ini memerlukan penguatan kapasitas agar berdaya.

Pada 2022, dari luas panen 10,549 juta hektare dihasilkan beras 31,94 juta ton. Ada surplus 1,74 juta ton beras setelah dikurangi konsumsi sebesar 30,2 juta ton. Akan tetapi, surplus produksi terus menurun. Pada 2018, surplus beras mencapai 4,37 juta ton, menurun jadi 2,38 juta ton pada 2019, turun lagi jadi 2,13 juta ton pada 2020, dan tinggal 1,31 juta ton di 2021. Di sisi lain, jumlah penduduk terus bertambah.Permintaan juga tumbuh dari peningkatan kesejahteraan.

Anomali iklim/cuaca, degradasi kualitas lahan dan air serta kapasitas petani yang tua membuat kontinuitas produksi padi menghadapi masalah serius. Apalagi, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, ada kecenderungan emoh menanam padi di kalangan petani.

Ini tampak dari dua gejala. Pertama, luas panen padi menurun: dari 11,378 juta ha pada 2018 jadi 10, 549 juta ha pada 2022. Dalam 5 tahun luas panen turun 829 ribu ha. Kedua, luas sawah yang ditanami non-padi juga terus naik: dari 14.994 ha pada 2019 jadi 18.311 ha pada 2021.

Tanpa banyak disadari, di lahan sawah seluas 7,4 juta hektare saat ini telah berkompetisi aneka tanaman pangan. Yang paling utama tentu padi, jagung, kedelai, dan tebu. Kala luas suatu tanaman naik akan diikuti penurunan luas tanaman lainnya. Serba salah. Inilah yang terjadi pada pertanian Indonesia hari-hari ini.

Di kalangan petani Jawa dikenal tiga karakter (Sapuan, 2021): ngalah, ngalih, dan ngamuk. Bila ada kebijakan yang tidak sesuai keinginan petani, mereka akan ngalah (pasrah). Mereka tidak demo atau berunjuk rasa. Jika kondisi ini berlanjut, petani bisa ngalih, yakni menanam komoditas lain yang dirasa lebih menguntungkan. Yang terakhir, ngamuk, bukan berarti petani marah-marah kepada pemerintah atau orang lain, tapi dia akan menanam padi atau tanaman lain untuk kebutuhan sendiri. Jika ini terjadi, ambyar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper