Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia telah meluncurkan White Paper pengembangan CBDC (Central Bank Digital Currency) Indonesia atau Digital Rupiah pada 30/11/2022 dan menamakannya Proyek Garuda: Menavigasi Arsitektur Digital Rupiah. Terdapat tagline yang mengesankan dalam White Paper ini, yaitu “Untuk NKRI yang berdaulat”.
Tagline ini adalah implementasi amanat UUD45 Pasal 23B “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang” yaitu UURI No. 7/2011 Tentang Mata Uang. Secara eksplisit dinyatakan dalam pertimbangan (a) bahwa NKRI sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Tagline ini, memiliki roh yang memompa semangat Indonesia yang berdaulat dan Indonesia yang langgeng, khususnya dalam perancangan mata uang dalam bentuk Digital Rupiah.
Digital Rupiah yang dirancang oleh BI berprinsip end to end dalam bentuk Wholesale-CBDC (w-Digital Rupiah) dan Retail-CBDC (r-Digital Rupiah). BI menyatakan bahwa Digital Rupiah dapat diakses melalui dua metode yaitu, melalui akun dan/atau token. w-Digital Rupiah diakses melalui verifikasi berbasis token, sementara r-Digital Rupiah melalui verifikasi berbasis akun dan/atau token. Adapun konfigurasi desain Digital Rupiah terdiri dari lima komponen utama, antara lain penerbitan, distribusi dan pencatatan transaksi, akses, ruang lingkup & keterhubungan, dan infrastruktur & teknologi.
Khusus untuk pilihan platform teknologi Digital Rupiah, BI membuat opsi model hybrid, yaitu penggabungan platform terdistribusi dan tersentralisasi. Platform distribusi mengaplikasikan DLT (Distributed Ledger Technology) dengan keunggulan di sisi teknik kriptografi, data berbagi, teknik desentralisasi dan kemampuan program. Sedangkan teknik sentralisasi memiliki keunggulan kontrol atas skalabilitas, risiko, dan mitigasi keamanan (BI 2022, Buterin 2014).
Apakah rancangan Digital Rupiah dapat dijalankan dalam Proyek Garuda? Tentunya berbagai prasyarat perlu dipertimbangkan, antara lain perlunya penetapan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelaporan Keuangan, RUU Pasar Modal, RUU BI, RUU Perbankan, dan RUU Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi). Kesemuanya ini sudah dituangkan dalam Permenkeu RI No. 77/PMK.01/2020 Tentang Rencana Strategis Kementrian Keuangan Tahun 2020—2024. Artinya, Pemerintah sudah harus memasukkan RUU ini dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) selambatnya pada 2024 ditambah dengan RUU Mata Uang. Kesemuanya ini adalah prasyarat untuk dapat dirancangnya Digital Rupiah yang terintegrasi, terinteroperabilitas, dan terkoneksi.
Kendati Proyek Garuda ini secara teknis dapat dilaksanakan pascaberakhirnya Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 dan Blueprint Sistem Pengembangan Pasar Uang (BSPPU) 2025. Diperlukan persiapan yang matang menuju awal proses perancangan Digital Rupiah di tahun 2026. Tanpa adanya keputusan politik antara Pemerintah dan DPR, maka suatu kemustahilan dapat dilaksanakannya perancangan Digital Rupiah di awal 2026. Maka, peran Pemerintah dalam mempersiapkan kajian akademis dan draf RUU sebagaimana diuraikan di atas, sudah sangat mendesak, jangan sampai Indonesia ketinggalan kereta di arena Ekonomi Keuangan Digital (EKD) secara nasional dan internasional. Apalagi implikasi Digital Rupiah dalam pengelolaan moneter akan sangat erat kaitannya dengan fenomena dedolarisasi.
Baca Juga
REDENOMINASI
Identitas negara yang berdaulat dapat dilihat dari mata uangnya, bila kita perhatikan dari perspektif kesetaraan digit mata uang antarnegara, misalnya terhadap US$, maka kesetaraannya jomplang, yaitu 1 berbanding 10.000. Ketidaksetaraan ini dapat disetarakan dengan mengimplementasikan Redenominasi rupiah. Redenominasi rupiah adalah sebagai sarana penyederhanaan atau simplifikasi digit mata uang ke dalam digit yang lebih kecil, tanpa mengurangi nilai beli uang dimaksud.
Simplifikasi digit mata uang akan membawa konsekuensi langsung, seperti berkurangnya digit/angka perhitungan akuntansi yang memudahkan perbankan dalam penghitungan satuan mata uang. Dari berbagai redenominasi yang pernah dilakukan oleh berbagai negara, maka umumnya nilai tengah penyederhanaan mata uang dibagi dengan seribu atau menghilangkan tiga digit angka nol dari mata uangnya.
Namun pada beberapa kasus, pada 5 Juli 1999—31 Desember 1999, Bulgaria berhasil dengan mulus melakukan redenominasi, dengan menghilangkan tiga digit angka nol dan menerapkan dua harga untuk seluruh barang yang diperdagangkan—Di tahun 2000 penggunaan dua harga dihentikan dan redenominasi berjalan dengan mulus; Pada 1 Januari 2005, Turki berhasil dengan mulus menjalankan redenominasi dari 1 juta Lira menjadi 1 Lira, dengan cara bertahap, pertama menjalankan dua nilai mata uang, setahun kemudian tahap kedua mata uang lama ditarik secara perlahan, juga tanpa gejolak.
Meskipun demikian, tercatat beberapa negara yang gagal menjalankan Redenominasi antara lain Brazil, Rusia, Argentina, Korea Utara, dan Zimbabwe. Umumnya kegagalan yang terjadi adalah karena momentum pelaksanaan Redenominasi tidak di dukung stabilisasi ekonomi, seperti inflasi yang tidak terkendali dan juga stabilisasi sistem keuangan negara.
Kunci keberhasilan redenominasi yang terpenting adalah tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang stabil, jaminan harga stabilitas dan sosialisasi yang baik kepada masyarakat. Dalam implementasi redenominasi, umumnya terdapat motif yang melatar-belakanginya, yaitu motif karena terjadinya hiperinflasi atau motif dari keinginan pemerintah (Mosley 2005).
Dari sejarah perekonomian Indonesia, kita pernah mengalami hiperinflasi, yaitu pada tahun 1962 (131%), 1963 (146%), 1964 (109%), 1965 (307%), 1966 (1136%), 1967 (106%), dan 1968 (129%). Sedangkan krisis yang melanda Indonesia di tahun 1998, bukan hiperinflasi, kendati inflasi mencapai 77,63% dan ekonomi terkontraksi 13,13%—Krisis ini dikenal dengan krisis kembar (Krisis Moneter/Keuangan dan Perbankan) yang menelan biaya pemulihan terbesar seantero dunia, yaitu Rp658,72 triliun atau 51,03% GDP Tahun 2000 (Simatupang 2007).
Sejauh ini, BI bekerjasama dengan K/L, Pemda, dan pihak terkait lainnya, sangat berhasil memelihara stabilisasi inflasi. Sehingga momentum NKRI melaksanakan Redenominasi akan berimplikasi kepada suksesnya Proyek Garuda yang di gagas BI. Mengingat kesetaraan menjadi ukuran kedaulatan suatu bangsa, maka, seyogianya Redenominasi Indonesia dilakukan dengan menghilangkan empat digit nol dibelakang. Sehingga kelak Digital Rupiah pascaredenominasi bisa ditetapkan oleh BI Rp10.000 menjadi Rp1, atau US$/IDR menjadi menjadi sekitar Rp1,4.
Saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah simplifikasi dari sistem keuangan di mana bila Redenominasi diimplementasikan jangan sampai merepotkan dan mengganggu proses transaksi. Oleh karenanya, sosialisasi menjadi kunci keberhasilan, untuk itu harus dilaksanakan secara terencana, sistemik dan meluas, sehingga tingkat akseptibilitas dan apresiasi masyarakat dalam merespons implementasi Redenominasi akan tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lianto dan Suryaputra (2012) yang menyatakan bahwa dampak terbesar dari Redenominasi menurut Warga Negara Indonesia adalah memulihkan kredibilitas Indonesia dan menguntungkan.