Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor kuartal I/2023 US$67,2 miliar atau naik 1,6 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu. Namun, kinerja ekspor pada kuartal ini melambat, bahkan pertumbuhannya menjadi yang paling lambat sejak 2020.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyampaikan, melambatnya kinerja ekspor pada kuartal pertama tahun ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, ekonomi dunia di 2021 yang kemudian menjadi ukuran kenaikan di 2022, sedang mengalami anomali karena kondisi pandemi sehingga kenaikan di 2022 cenderung agresif.
“Sedangkan 2023 pandemi sudah relatif tidak menimbulkan efek yang signifikan,” kata Ajib kepada Bisnis, Senin (17/4/2023).
Kedua, kondisi ekonomi global mulai melandai. Bahkan beberapa negara Eropa dalam bayang-bayang resesi sehingga pertumbuhan ekspor yang melandai relatif wajar.
“Untuk jangka panjang, Indonesia bisa meningkatkan kualitas ekspor dengan komoditas yang mempunyai nilai tambah lebih maksimal,” ujarnya.
Baca Juga
Adapun, komoditas yang dimaksud antara lain minyak sawit dan batu bara, di mana harga komoditas ini sangat dipengaruhi oleh global. Nilai tambah yang bisa didorong misalnya kelapa sawit diolah menjadi barang turunan siap pakai seperti minyak, kosmetik, hingga menjadi energi.
“Intinya, setiap komoditas, secara bertahap secara ratio, semakin banyak yang diolah dinaikkan nilai tambahnya. Ini yang memerlukan peta jalan investasi jangka menengah maupun panjang,” jelasnya.
Selain itu, guna mendongkrak kinerja ekspor, Apindo menilai pemerintah perlu memberikan insentif ekspor dan menekan komoditas impor agar cadangan devisa tetap terjaga.
Di sisi lain, kebijakan devisa hasil ekspor untuk tetap dalam sistem keuangan Indonesia, menjadi langkah efektif untuk menjaga kurs Rupiah.