Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Janji Restrukturisasi Utang Negara Miskin sejak 2020, Bank Dunia Ungkap Realitas

Sejak dideklarasikan pemberian keringanan utang kepada negara miskin oleh Bretton Woods dan negara kreditor pada 2020, sejauh ini belum ada yang terealisasi.
Ilustrasi dolar AS yang digunakan sebagai nilai tukar utang dunia. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Ilustrasi dolar AS yang digunakan sebagai nilai tukar utang dunia. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Kelompok Bretton Woods dengan inisiasi Bank Dunia, mendorong penyelesaian masalah hutang-hutang negara miskin yang meningkat.

Sejumlah proposal konkret tengah disiapkan bersama Dana Moneter Internasional (IMF). Utamanya menitikberatkan kepada penyelesaian hambatan terbesar dalam restrukturisasi. 

Restrukturisasi utang ini diperkenalkan di Global Sovereign Debt Roundtable, yakni pertemuan yang dipimpin oleh kelompok Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, dan WTO) serta ketua G20 India di Washington, D.C.

Diskusi serius penyelesaian utang negara miskin ini diutarakan oleh Presiden Bank Dunia David Malpass, dalam postingan blog di hari Minggu (9/4/2023). 

Dijelaskan, diskusi yang berkembang adalah analisis keberlanjutan utang Bank Dunia-IMF. Selajutnya peningkatan transparansi dan berbagi informasi untuk membantu menghitung ukuran kebutuhan keringanan utang, kata Malpass. 

Selain itu, China, kreditur terbesar untuk negara-negara berkembang, telah mengajukan pertanyaan tentang asumsi yang digunakan. Diskusi yang mengemuka lainnya adalah perlunya restrukturisasi yang dipercepat dan diperkuat dengan menciptakan garis waktu yang jelas. Penguatan ini termasuk pembentukan komite kreditur, penyediaan jaminan pembiayaan dan penandatanganan perjanjian restrukturisasi.

Lainnya, skema penangguhan pembayaran utang pada awal proses (grace period) juga akan memberikan insentif untuk mencapai kesepakatan dan melindungi kemampuan pembayaran utang. 

Pada kasus masing-masing negara, Malpass mengatakan komite kreditor resmi Zambia yang dipimpin oleh China dan Prancis, berencana untuk bertemu pada minggu 16 April dan sedang mencari “hasil yang baik”. 

Kemudian di Ghana, Malpass mengatakan kemajuan pertemuan teknis merupakan tanda positif, dan menyoroti perlunya kemajuan yang lebih cepat di Ethiopia.

“Dengan krisis utang yang semakin besar, kita harus mendekati pertemuan di minggu depan dengan tekad dan urgensi,” kata Malpass mengutip dari Bloomberg (10/4/2023). 

Diketahui bahwa lebih dari separuh negara berpenghasilan rendah di dunia berisiko tinggi mengalami tekanan utang atau sudah berada di dalamnya. Bahkan beberapa negara mengalami gagal bayar.

Selanjutnya, meskipun ekonomi terbesar yakni G-20 pada sejak 2020 telah menyetujui rencana untuk memperlancar proses restrukturisasi pinjaman yang  pemerintah tidak mampu lagi membayar atau membayar kembali, tidak ada satu negara pun yang benar-benar mendapatkan keringanan sejauh ini.

Penundaan sebagian besar berasal dari ketidaksepakatan antara negara-negara kaya yang secara tradisional memandu restrukturisasi utang negara dan China, sebagaimana sekarang menjadi kreditur internasional utama. 

Beijing juga mengindikasikan bahwa akan lebih adil jika pinjaman yang dibuat oleh Bank Dunia, dimana AS merupakan pemegang saham terbesar, dimasukkan dalam semua restrukturisasi. Kelompok Bretton Woods menolak permintaan tersebut dan didukung negara maju terutama AS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper