Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan buka suara soal mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo mengaku telah menjadi peserta program pengampunan pajak atau Tax Amnesty 2016 dan PPS 2022.
Rafael menyampaikan keberatan atas tudingan adanya ketidakberesan asal-usul hartanya.
Dia juga merasa heran mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempermasalahkan hartanya, yang sudah tercatat dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) sejak 2002.
"Seluruh aset tetap tersebut sudah dikutkan program Tax Amnesty tahun 2016 dan juga diikutkan PPS tahun 2022. Sehingga saat ini seharusnya sudah tidak menjadi masalah," tulis Rafael dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (30/3/2023).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti angkat suara terkait 'nasib' para peserta pengampunan pajak.
Menurutnya, peserta Tax Amnesty dan PPS memang akan memperoleh sejumlah manfaat terkait perpajakan dan hartanya.
Baca Juga
Peserta kebijakan I PPS, yakni alumni Tax Amnesty jilid I seperti Rafael, akan memperoleh manfaat terhindar dari sanksi pasal 18 (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak, yakni sanksi sebesar 200 persen.
"Harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak," ujar Dwi kepada Bisnis, Rabu (29/3/2023) malam.
Konsekuensi justru ada bagi wajib pajak yang tidak mengikuti PPS kebijakan I, yaitu jika sampai dengan PPS berakhir pada 30 Juni 2022 masih terdapat harta belum dilaporkan alumni Tax Amnesty dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada 2016.
Wajib pajak itu akan dikenai PPh Final dari Harta Bersih Tambahan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2017, yaitu 25 persen bagi badan; 30 persen bagi orang pribadi; dan 12,5 persen bagi wajib pajak tertentu. Harta yang kurang diungkap juga dikenai sanksi 200 persen.
Adapun, manfaat bagi peserta PPS kebijakan II adalah tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban perpajakan 2016 sampai 2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap (PPh OP, PPh Pot/Put, dan PPN, kecuali pajak yang telah dipotong/dipungut tetapi tidak disetorkan) dan harta yang diungkap tidak dapat dijadikan dasar penyidikan, penyelidikan, atau penuntutan tindak pidana terhadap wajib pajak.
Menurut Dwi, konsekuensi bagi orang pribadi peserta PPS kebijakan II, jika masih terdapat harta tahun 2016 sampai 2020 yang tidak diungkap dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) akan dikenai PPh Final dari Harta Bersih Tambahan dengan tarif 30 persen, sesuai Pasal 11 ayat (2) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Aset yang kurang diungkap juga dikenai sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15 persen, yakni sanksi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pasal 13 ayat (2) UU KUP.