Bisnis.com, JAKARTA - Kasus penganiayaan ini, akan jadi kasus biasa, seandainya kasus ini tidak viral dan melibatkan salah seorang pejabat teras di salah satu instansi di Kementerian Keuangan.
Pejabat teras setingkat eselon 3 tersebut, juga ditengarai memiliki kekayaan yang tidak wajar sesuai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Tidak kurang dari Menteri Keuangan, geram akan hal ini, dan segera menyampaikan pernyataan sikapnya. Salah satu poin yang menarik dari pernyataan tertulis beliau di akun media sosial Instagram, pada 22 Februari 2023 adalah “Kepercayaan publik adalah hal esensial dan fondasi yang harus dijaga bersama….”
Berikut ini adalah dampak dari viralnya kasus di atas.
Pertama, karena citra Ditjen Pajak menjadi turun. Hal tersebut bisa berdampak pada kepercayaan publik. Bahkan, ada netizen yang berkomentar, ”Mengapa pejabat pajak bebas tidak membayar pajak, sementara kami dikejar-kejar petugas pajak.”
Kedua, turunnya kepercayaan publik, bisa berdampak pada ketidakrelaan dalam membayar pajak. Padahal, pada 2023 ini, relatif tidak ada lagi momentum yang mendongkrak penerimaan pajak seperti tahun lalu. Pada 2022, ada program tax amnesty (program pengampunan pajak), dan juga kenaikan tarif PPN 1 %.
Baca Juga
Ketiga, Moral pegawai pajak, berdampak pada kinerjanya.
Moral atau motivasi pegawai Ditjen Pajak harus diangkat. Penugasan pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih selektif dan cermat, sesuai CRM (Compliance Risk Management) yang telah dibangun. Data statistik terakhir menunjukkan, jumlah sengketa pajak di pengadilan pajak (situs sekretariat pengadilan pajak) masih lebih banyak dimenangkan oleh Wajib Pajak.
Dalam kurun waktu 2016 -2022, sengketa yang dikabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak ada 50.683, atau 61,17% dari total sekitar 82.000. Dan masih dari situs yang sama, (www.setpp.go.id, akses 22 Februari 2023). Sedangkan jumlah sengketa yang memerintahkan wajib pajak membayar tambahan pajak lagi, hanya 35 kasus (0,04%). Artinya, kualitas pemeriksaan pajak, perlu ditinjau ulang pengawasannya.
Dari pengalaman penulis sebagai auditor pajak dan praktisi, dalam rangka mendongkrak citra, selain dengan strategi public relation, berikut ini langkah sederhana yang mungkin bisa dilakukan.
Pertama, mempercepat penerbitan juklak aturan-aturan pajak, khususnya pada poin krusial yang menyangkut dampak pada take home pay karyawan. Contohnya adalah petunjuk pelaksana pada penerapan pajak baru atas kenikmatan/ natura yang diperoleh karyawan di perusahaan.
Di samping dipercepat, untuk memberi kepastian hukum dalam pelaksanaan, PMK atau Perdirjen sebaiknya mengatur jumlah minimal fasilitas, misalnya untuk natura, yang menjadi objek pajak bagi karyawan hanya untuk nilai nominal tertentu, sehingga pajak tetap adil.
Kedua, Semakin penting, untuk prioritaskan undang-undang terkait perlindungan konsumen.
Salah satu pihak/profesi yang diperlukan masyarakat adalah Konsultan Pajak. Dengan adanya payung hukum atas profesi konsultan pajak berupa aturan Undang- Undang, maka konsumen yang adalah Wajib Pajak lebih terlindungi. Terlindungi dari oknum-oknum konsultan yang tidak tepat, yang tidak punya kualifikasi memadai. Hal ini, malah merugikan wajib pajak, ketika ada pemeriksaan dan sengketa pajak.
MEMBANTU OTORITAS
Di sisi lain, sebagaimana lazimnya di negara maju, konsultan pajak sangat membantu otoritas pajak, sebagai mitra strategis otoritas pajak, termasuk proses edukasi ke masyarakat terkait kepatuhan pajak.
Sangat ironis, bahwa konsultan pajak adalah satu dari sedikit asosiasi profesi yang belum memiliki Undang-undang di negeri ini.
Ketiga, makin cermat dalam menentukan wajib pajak mana saja yang perlu atau urgent dilakukan pemeriksaan, mana yang cukup dengan imbauan dan lain-lain. Hal ini penting, karena dunia usaha perlu berfokus pada peningkatan omzet, setelah babak belur melewati pandemi Covid-19 dan varian turunannya. Tentunya, dengan makin business friendly-nya Ditjen Pajak maka simpati wajib pajak mulai terdongkrak kembali.
Dan ini bisa meningkatkan kerelaan/ kepatuhan suka rela. Di sisi lain, dampak peningkatan omzet dunia usaha, juga bisa menaikkan penerimaan pajak. Karena omset meningkat bisa minimal menaikkan Objek Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Niai (PPN).
Keempat, aktif menemukan kegiatan-kegiatan promosi atau awareness, misalnya dalam event-event yang berdampak nasional atau internasional. Sangat disayangkan, pada event balap boat super cepat (F1H2O) yang berlangsung akhir Februari ini di kota Balige, danau toba, tidak ditemukan “brand” partisipasi kemenkeu atau Ditjen Pajak.
Bisa saja dipasang spanduk dengan slogan ”Event standar internasional ini terselenggara karena pajak yang ada bayarkan...!” dan seterusnya. Akhir kata mengutip pepatah klasik bangsa Prancis, tentang memungut pajak ibarat memelihara angsa.
Dalam terjemahan bebasnya kira-kira begini :
Danau Batur,
sungguh indah,
membuat teduh,
tenang di jiwa.
Angsa bertelur,
taruh di wadah
Tak perlu dipotong,
bulunya banyak berguna.