Bisnis.com, JAKARTA — Pemerataan distribusi bahan pokok dan penguatan ekonomi daerah menjadi tujuan utama pelaksanaan program tol laut. Peningkatan muatan balik menjadi salah satu langkah vital dalam mencapai tujuan tersebut.
Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni Yossianis Marciano menilai bahwa proyek tol laut berjalan dengan baik dan menunjukkan perkembangan yang optimal. Ketika program itu dimulai pada 2015 baru terdapat 3 trayek, sementara tahun ini terdapat 39 trayek yang digawangi Pelni dan operator swasta.
Salah satu indikator lain yang menunjukkan tren positif adalah muatan balik dalam operasional tol laut. Pada awal program itu berjalan, rasio muatan berangkat dan balik dari total pelayaran masih berkisar 90 persen banding 10 persen, tetapi kini telah bertambah.
"Pada 2022, jumlah produksi container sebanyak 27.945 TEUs, 20.463 TEUs muatan berangkat [73 persen] dan 7.482 TEUs muatan balik [28 persen] dengan 33 Trayek. Dari total tersebut, Pelni berkontribusi sebesar 14.508 TEUs container atau sebesar 51,92 persen," ujar Yossi pada Jumat (3/3/2023).
Naiknya porsi muatan balik menunjukkan bahwa barang-barang dari berbagai wilayah tujuan awal dapat terdistribusi ke daerah lainnya. Selain membantu pemenuhan ketersediaan barang, distribusi itupun turut berkontribusi dalam menekan disparitas harga berbagai kebutuhan.
Menurut Yossi, tol laut dapat menjamin distribusi logistik antarwilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP) lebih cepat. Hal itu akan berpengaruh terhadap stabilitas harga barang pokok, barang penting, dan barang lainnya sehingga disparitas harga bisa berkurang.
Baca Juga
Meskipun begitu, untuk mendorong optimalisasi muatan balik maupun tol laut secara keseluruhan, Pelni menilai pemerintah perlu mengatasi sejumlah kendala dalam pelaksanaan tol laut. Produktivitas pelabuhan yang belum optimal menjadi salah satu sorotan Pelni.
Yossi menyebut bahwa masih terdapat keterbatasan alat bongkar muat di pelabuhan 3TP. Lalu, di pelabuhan 3TP kerap terdapat jam kerja tenaga kerja bongkar muat (TKBM) yang belum terstandardisasi, tarif TKBM yang relatif tinggi, dan kompetensi mereka yang belum optimal.
Dia pun menilai bahwa ketersediaan gudang dan lapangan penumpukan di wilayah 3TP masih minim. Padahal, infrastruktur itu dapat mendukung distribusi bahan pokok, sehingga manfaatnya akan terasa bagi masyarakat dalam jangka panjang.
"Tol laut belum terintegrasi dengan moda transportasi lain di wilayah 3TP, menyebabkan distribusi barang tidak menjangkau wilayah keseluruhan, atau membutuhkan cost yang tinggi," kata Yossi.
Konektivitas antar trayek tol laut yang belum terpadu pun menyebabkan operasi angkutan kurang efektif dan efisien, antara lain jarak layer trayek yang terlalu panjang sehingga jarak tempuh menjadi cukup lama. Hal itu menyebabkan frekuensi distribusi barang tiba di tujuan menjadi lebih sedikit.
"Lalu, ada keterbatasan unit container milik Pelni dan Kementerian Perhubungan untuk memenuhi pertumbuhan demand angkutan tol laut. Infrastruktur kepelabuhanan dan peralatan bongkar muat yang perlu disediakan untuk mendukung kegiatan operasional kapal tol laut juga menjadi kendala tersendiri," katanya.
Wawancara dengan Pelni merupakan bagian dari liputan khusus berjudul Pasang Surut Tol Laut yang terbit di Bisnis Indonesia edisi 6 Maret 2022. Baca laporan selengkapnya di epaper.bisnis.com.