Bisnis.com, JAKARTA - Jumlah pengangguran di Indonesia per tahun 2022 sudah mencapai angka 8,4 juta jiwa. Hal ini tidak lepas dari segudang permasalahan yang masih menghantui dunia kerja.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani menyebut, salah satu permasalahan yang paling muncul adalah digitalisasi, yang sebabkan berkurangnya penyerapan angkatan kerja dan sebabkan tingginya angka pengangguran.
“Digitalisasi ini sangat berpengaruh dari segi bonus demografi,” kata Shinta kepada wartawan saat ditemui usai acara peresmian LSP HII APINDO dan LSP MSDM APINDO di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Menurut Shinta, digitalisasi ini berperan banyak dalam banyaknya industri yang mulai menggunakan berbagai mesin berteknologi maju turut mengikis jumlah angkatan kerja yang terserap lapangan pekerjaan.
“Karena sekarang kita masuk era digitalisasi otomatisasi dan lain-lain kebutuhan tenaga kerja juga berkurang,” tambahnya.
Permasalahan kedua yang menyebabkan banyaknya pengangguran menurut Shinta adalah ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan angkatan kerja dengan jenis pekerjaan yang tersedia di lapangan kerja.
Baca Juga
“Apa yang keluar dari pendidikan itu dapat diserap industri. Karena jenis pekerjaan sudah berubah. Ini harus jadi perhatian dalam link and match,” kata Shinta.
Dengan demikian, kata Shinta, banyak pihak yang harus membuka mata untuk menyediakan berbagai pelatihan profesional untuk angkatan kerja agar bisa bersaing di dunia kerja.
Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus tahun 2022 lalu, mencapai 8,4 juta orang atau setara dengan 5,86 persen dari total angkatan kerja nasional yang mencapai 143,72 juta orang.
Meskipun, jika dibandingkan dengan angka pengangguran di Indonesia tahun sebelumnya yang mencapai 9,1 juta orang, angka ini menurun sebesar 7,69 persen.
Lebih lanjut Shinta menyebutkan, kendala lain datang dari penyerapan angkatan kerja yang dapat menambah beban angka pengangguran di Indonesia adalah investasi permasalahan padat modal yang lebih mendominasi dibandingkan industri padat karya.
“Kalau kita lihat, investasi yang masuk ini mayoritas padat modal sehingga penurunannya signifikan, hampir 1/3 dalam tujuh tahun terakhir,” kata Shinta.
Padahal, kata Shinta industri padat karya lah yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
“Yang namanya padat modal itu bukan berarti penyerapan sedikit cuma tak mungkin sebesar ratusan ribu seperti padat karya, seperti garmen tekstil, garmen, sepatu, yang besar-besar [menyerap lapangan pekerjaan],” pungkasnya.