Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,5–4,75 persen pada Februari 2023, level tertinggi sejak 2007.
Laju kenaikan tersebut melambat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya dan sejalan dengan ekspektasi pasar.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan bahwa secara total, the Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 450 basis poin selama setahun terakhir.
Tingkat inflasi global yang jauh di atas target terus memaksa bank-bank sentral utama untuk menaikkan suku bunga kebijakan, meski terdapat tanda-tanda perlambatan ekonomi global.
Laju kenaikan Fed Funds Rate yang lebih lambat pada Februari 2023 menurutnya memungkinkan the Fed untuk menilai kemajuan ekonomi sehingga dapat menentukan sejauh mana kenaikan suku bunga ke depan yang akan diperlukan untuk mencapai sikap restriktif.
Dengan perkembangan tersebut, Andry memperkirakan kenaikan suku bunga kebijakan global kemungkinan besar akan mencapai puncaknya pada akhir semester pertama 2023. Kondisi ini akan mengurangi tekanan di pasar keuangan negara berkembang.
Baca Juga
“Hal ini akan mendorong arus masuk modal ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya pasar obligasi yang pada akhirnya mendukung stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya, Kamis (2/2/2023).
Di dalam negeri, Andry memperkirakan tingkat inflasi Indonesia akan terus menurun ke depan. Namun, tingkat inflasi masih akan berada di atas batas atas kisaran target 2–4 persen, setidaknya hingga semester pertama 2023.
Laju inflasi selanjutnya diperkirakan turun pada paruh kedua dan mencapai 3,60 persen pada akhir 2023. Sejalan dengan itu, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap dipertahankan pada level 5,75 persen hingga akhir 2023.
“Secara keseluruhan, kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75 persen di sisa tahun 2023 dengan tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global ke depan yang masih penuh dengan ketidakpastian,” jelasnya.