Bisnis.com, JAKARTA - Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan permasalahan yang menyebabkan pertumbuhan ekspor Indonesia justru melambat setelah menjalin perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA).
Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, menilai Pemerintah Indonesia saat ini belum memiliki strategi utama dalam kebijakan perdagangan internasional.
Rizal mengungkapkan dalam stategi utama perdagangan, paling tidak terdapat tiga tujuan yang perlu dilakukan. Pertama, harus mendefinisikan mengenai tujuan dari FTA.
“Tujuan ini tidak hanya terbatas pada akses market atau tidak, tapi ada juga peningkatan investasi, tujuannya meningkatkan daya saing, dan pembangunan berkelanjutan. Terus terang kita nggak punya saat ini,” ujar Rizal dalam diskusi bedah buku ‘Perdagangan Bebas dan Perkembangan Ekspor Nasional: Peran Produk Nasional di Pasar Impor Negara Mitra FTA’, di Kantor Apindo, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Strategi kedua, Jose mengatakan adalah adanya koordinasi kelembagaan yang pengaturannya harus diatur sangat rinci. Dia mencontohkan, Vietnam misalnya mencantumkan definisi tugas dalam perdagangan internasional tidak hanya dalam Kementerian Perdagangannya saja, melainkan lembaga-lembaga lain secara detail dalam undang-undang mereka.
“Di kita tugas perdagangan itu hanya Kemendag saja, tapi tidak dijelaskan lemabaga lain terkait. Tidak ada definisi yang jelas peran lembaga terkait seperti apa,” ujarnya.
Dia juga mengatakan Indonesia belum mempunyai strategi dalam mengidentifikasi pemilihan mitra dagang. Hal itu, menurut Jose untuk mengetahui, apa kebutuhan mitra dagang Indonesia secara lebih komprehensif.
“Yang dituju itu partner apakah negara-negara tradisional yang kita tahu pasarnya, yang akan kita perkuat lagi. Atau partner non tradisional, itu harus diperhitungkan, apakah punya infrastruktur tidak kita masuk kesana. Jangan-jangan ketika FTA-nya terbentuk, mengirim saja tidak bisa, tidak ada korespondensi. Untuk apa, capai-capai membuat FTA jika seperti ini,” ungkapnya.
Akibat dampak ketiadaan grand strategi tersebut, Jose mengatakan pertumbuhan eskpor Indonesia ke beberapa mitra dagang FTA justru melempem. Misalnya, kata dia, Indonesia ke Jepang yang surplus perdagangannya terus menurun setelah adanya FTA.
“Ketika memulai FTA 2007 itu terlihat, impor kita meningkat drastis dari Jepang. Sementara ekspor kita tidak meningkat-meningkat,” ucap Jose.
Sebelumnya, Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pertumbuhan surplus perdagangan Indonesia ke negara mitra FTA justru lebih lambat ketimbang ke negara mitra non-FTA.
Die merinci ekspor ke negara non-FTA tumbuh 4,1 persen (2012-2021), sedangkan dengan mitra FTA tumbuh 3 persen. Kemudian, presentase ekspor ke negara mitra FTA dari 68 persen (2012) menjadi 66,3 persen (2021).
Adapun, impor dari negara mitra FTA tumbuh lebih tinggi dari impor dari negara non mitra FTA. Presentase impornya naik dari 78,3 persen menjadi 86,3 persen. Padahal, menurut Hariyadi, FTA tadinya diharapkan agar perdagangan Indonesia bisa tumbuh positif.
“Kita instrospeksi sebagai pengusaha, banyak yang tidak siap ternyata. Tekstil, elektronik, alas kaki itu saja yang siap selama ini. Akhirnya dengan banyak sektor yang tidak siap, makanya yang untung mereka mulu,” ujar Hariyadi.