Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bakal tetap melarang ekspor seluruh mineral mentah pada Juni 2023 mendatang kendati pembangunan sebagian besar pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter jauh dari target yang ditetapkan.
Sementara itu, kesiapan industri hilir lanjutan juga masih menjadi perhatian khusus untuk dapat mengantisipasi potensi limpahan bahan baku mendatang.
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Idris Froyoto Sihite mengatakan, komitmen itu sebagai tindaklanjut amanat hilirisasi yang diatur di dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Intinya per 10 Juni tidak boleh lagi ekspor washed [bauksit], semua mineral sesuai dengan undang-undang,” kata Idris saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Di sisi lain, Idris mengatakan, pemerintah ingin menagih komitmen pelaku usaha untuk membangun smelter di dalam negeri lewat tenggat moratorium ekspor mineral medio 2023 nanti.
Menurut dia, sebagian besar pelaku usaha belum menjalankan komitmen pembangunan smelter sesuai dengan laporan yang disampaikan ke kementerian. Malahan, sebagian pelaku usaha justru menyampaikan komitmen pembangunan smelter hanya untuk mendapat fasilitas ekspor.
Baca Juga
Saat ditinjau ke lapangan, kata dia, tidak ada kemajuan pembangunan smelter yang riil dicapai sejumlah perusahaan yang berkomitmen tersebut.
“Smelter yang ada pun perlu kita tagih komitmennya kalau smelter kan jangan hanya commit bangun smelter, smelter itu harus terpasang secara lengkap sehingga layak disebut smelter, jadi jangan supaya dia bisa ekspor sampai Juni 2023,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mendorong pemerintah untuk berinvestasi lebih intensif pada pembangunan smelter bijih bauksit menjelang moratorium ekspor bahan baku aluminium itu pada Juni 2023 mendatang.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, investasi pemerintah pada lini pengolahan bijih bauksit itu penting di tengah kurangnya kepercayaan investor dan lembaga pemberi pinjaman untuk ikut berinvestasi pada pembangunan smelter tersebut.
“Kalau bank Himbara saja mengatakan proyek itu tidak feasible, bagaimana dengan bank-bank asing,” kata Ronald saat dihubungi, Senin (9/1/2023).
Menurut Ronald, komitmen pemerintah untuk ikut berinvestasi lebih intensif pada smelter bauksit bakal ikut membenahi tingkat keekonomian proyek yang dinilai terlalu berisiko tersebut.
Hitung-hitungan APB3I menunjukkan, kebutuhan investasi pembangunan smelter alumina dapat menyentuh di angka US$1,2 miliar atau setara dengan Rp17 triliun. Nilai itu ikut memperpanjang kepastian balik modal yang dinilai terlalu riskan bagi investor dan pemberi pinjaman.
“Pemerintah bisa ikut menanamkan modalnya melalui BUMN, nanti bisa dibentuk joint operations, misalnya ada 30 perusahaan bikin 7 smelter dibagi 4 perusahaan gabung jadi satu di situ modal jadi banyak,” kata dia.