Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sonny Harry Budiutomo Harmadi menilai fenomena rojali atau rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan tak serta merta menandakan lemahnya daya beli masyarakat. Menurutnya, terdapat shifting atau pergeseran pengeluaran dari masyarakat.
Adapun, istilah rojali merujuk kepada orang-orang yang mendatangi pusat perbelanjaan atau mal hanya untuk melihat-lihat, tetapi tidak berbelanja. Pengusaha ritel dan pusat perbelanjaan telah merasakan peningkatan fenomena rojali sejak momentum Ramadan 2024.
Hal ini menyebabkan kinerja pusat perbelanjaan Tanah Air menjadi tidak maksimal, mengingat periode tersebut merupakan peak season bagi penjualan ritel di Indonesia.
Sonny berpendapat, daya beli masyarakat masih terjaga. Hal ini ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen (IKK) di atas seratus. Adapun IKK terbaru untuk Mei 2025 berada di level 117,5.
Menurutnya, munculnya fenomena rojali karena masyarakat melakukan peralihan dalam mengeluarkan uang mereka. Peralihan itu seperti berbelanja online dan traveling.
"Shifting tidak hanya ke belanja online. Dalam beberapa penelitian itu bisa ditunjukkan bahwa sekarang orang lebih cenderung suka traveling," kata Sonny dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Baca Juga
Dia juga menyebut, jumlah rumah tangga yang memiliki dana untuk traveling meningkat. Tercatat, saat ini jumlah yang memiliki anggaran traveling itu berada di level 35%, naik dibanding tahun sebelumnya yang berada di level 22%.
"Shifting ini perlu dipahami dengan bijak, sehingga orang bisa menerima data dan memaknai sebagai insight untuk mengambil keputusan," ucap Sonny.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan, fenomena rojali telah menyebabkan omzet pusat perbelanjaan di Tanah Air menurun.
“Itu [omzet] terjadi penurunan, pasti. Karena kan tadi, belinya cenderung produk-produk yang harganya satuannya murah,” ungkap Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja ketika ditemui di Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (23/7/2025).
Alphonzus menuturkan, fenomena rojali bukanlah hal baru di Indonesia. Hanya saja, intensitas jumlah rojali memang berbeda dari waktu ke waktu dengan pemicu yang berbeda pula.
Meski bukan hal baru di Indonesia, menurut Alphonzus, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya fenomena rojali saat ini. Salah satunya, lemahnya daya beli masyarakat, khususnya di kelas menengah ke bawah.
Untuk diketahui, industri pusat perbelanjaan di Indonesia didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Persentasenya mencapai 95%.
“Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” katanya.
Menurut data APPBI, jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan memang mengalami peningkatan meski tidak signifikan, yakni kurang dari 10%. Jumlah itu jauh di bawah target asosiasi di kisaran 20%–30%.
Namun, terjadi perubahan terhadap pola belanja konsumen, yang kemudian berpengaruh terhadap omzet pusat perbelanjaan.
Alphonzus mengatakan, saat ini konsumen lebih selektif dalam berbelanja. Pun berbelanja, konsumen hanya membeli produk dengan harga yang murah.