Bisnis.com, JAKARTA – Konsumsi masyarakat terindikasi melambat pada kuartal terakhir 2022 seiring dengan tingginya laju inflasi yang diikuti oleh kenaikan suku bunga. Masyarkat mulai mengerem belanja?
Bank Indonesia (BI) dalam Survei Penjualan Eceran memperkirakan kinerja penjualan eceran pada kuartal IV/2022 hanya tumbuh sebesar 1,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), melambat dari kuartal sebelumnya.
Perlambatan terjadi pada subkelompok sandang, kelompok barang budaya dan rekreasi, serta makanan, minuman dan tembakau, sementara kelompok bahan bakar kendaraan bermotor, serta kelompok suku cadang dan aksesori mencatatkan penurunan penjualan.
Penjualan eceran pada Februari mendatang pun diperkirakan mengalami penurunan, tercermin dari indeks ekspektasi penjualan (IEP) yang tercatat sebesar 124,7, turun dari 150,6 pada bulan sebelumnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa perlambatan penjualan eceran pada kuartal IV/2022 yang cenderung melambat dipengaruhi oleh dampak low base effect dari kondisi 2021, yang terefleksi pada peningkatan laju penjualan eceran pada 2022 yang mulai mengalami isasi.
Dia mengatakan, penjualan eceran untuk suku cadang kendaraan bermotor dan alat komunikasi yang mulai melandai berkaitan dengan meningkatnya inflasi akibat penyesuaian harga BBM yang kemudian mendorong konsumen untuk membatasi atau menunda pembelian barang tahan lama.
Meski demikian, indikator konsumsi lainnya, yaitu indeks keyakinan konsumen (IKK) yang masih berada pada zona optimis pada akhir 2022 masih menunjukkan terjaganya optimisme konsumen.
“Dengan demikian, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV/2022 diperkirakan melambat menjadi sekitar 5 persen jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II dan III tahun 2022 yang masing-masing tercatat 5,5 persen dan 5,4 persen,” katanya kepada Bisnis, Rabu (11/1/2023).
Sementara itu, Josua memperkirakan pertumbuhan penjualan eceran pada kuartal I/2023 akan cenderung stagnan, meski ada momentum Imlek yang dapat mendongkrak konsumsi pada awal tahun.
Di satu sisi, imbuhnya, penyesuaian UMP pada 2023 menjadi katalis positif bagi kinerja penjualan eceran. Namun, pada saat yang sama, kenaikan inflasi yang disertai dengan kenaikan suku bunga menurutnya akan membatasi laju pertumbuhan penjualan eceran.
“Yang selanjutnya akan terindikasi dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang flat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penjualan eceran pada kuartal IV/2022,” jelas Josua.
Senada, Ekonom Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penjualan eceran yang melambat pada kuartal terakhir 2022 mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih rendah.
Menurutnya, salah satu pemicu perlambatan adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang sudah relatif tinggi pada kuartal IV/2021.
Pada kuartal IV/2022, meski ada pelonggaran mobilitas, namun menurutnya momentum Natal dan tahun baru belum maksimal dalam mendorong konsumsi masyarakat, dikarenakan adanya kenaikan inflasi dan suku bunga yang menjadi faktor penghambat.
“Konsumsi rumah tangga pada kuartal IV/2022 bisa jadi akan tumbuh di bawah 5 persen. Keseluruhan pertumbuhan ekonomi di 2022 kami perkirakan mencapai kisaran 4,8–4,95 persen, jadi dibawah 5 persen,” katanya.
Bhima menambahkan, perlambatan penjualan eceran juga berpotensi berlanjut pada kuartal I/2023, sehingga perlu diwaspadai pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat.
Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa pemerintah perlu memberikan stimulus atau relaksasi pajak yang berkaitan dengan konsumsi dan mendorong pembukaan kesempatan kerja yang lebih besar.
“Dan yang penting percepatan belanja negara, baik pusat maupun daerah, dan harus diperbaiki siklusnya sehingga pada kuartal pertama 2023 sudah ada pencairan anggaran yang bisa menggerakkan roda perekonomian, terutama di daerah,” jelas Bhima.
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa jika dilihat tren secara historis, pola perlambatan penjualan juga terlihat pada kuartal terakhir tahun lalu.
Perlambatan pertumbuhan indeks penjualan riil ini kata dia tidak terlepas dari angka inflasi yang relatif meningkat secara tahunan pada Oktober dan November 2022, sehingga peningkatan inflasi ikut menggerus permintaan terhadap beberapa kelompok barang.
Penjualan eceran pada Desember 2022 yang tumbuh melambat hanya 0,04 persen secara tahunan menurutnya juga mengindikasikan bahwa momentum Natal dan Tahun Baru tidak mampu menstimulasi masyarakat untuk melakukan konsumsi dengan jumlah yang lebih banyak.
“Alhasil, dengan tren perlambatan indeks penjualan riil di 3 bulan terakhir pada 2022 bisa menjadi indikasi awal bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga terutama di kuartal ke-4 akan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan di kuartal ketiga,” jelasnya.
Dengan demikian, jika pos investasi ataupun pos dari PDB yang lain tidak mengalami kenaikan yang signifikan, maka dia menilai pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2022 berpotensi lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal III/2022.
Dia menambahkan, momentum Ramadan yang berada pada kuartal pertama menurutnya dapat menjadi pendorong pertumbuhan indeks penjualan riil, namun dengan asumsi inflasi secara bertahap mengalami perlambatan atau menurun imbas dari kebijakan menaikkan suku bunga acuan yang ditempuh Bank Indonesia pada 2022 lalu.