Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja tertanggal 30 Desember 2022 mendapatkan sorotan dari berbagai pihak.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penerbitan Perppu Cipta kerja bersifat mendesak, mengingat perekonomian Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang tinggi.
“Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” kata Airlangga dalam keterangan pers Jumat lalu (30/12/2022).
Urgensi lainnya yakni lantaran pemerintah harus mengembalikan defisit APBN di bawah 3 persen, dan juga target realisasi investasi sebesar Rp1.400 triliun di 2023. Maka dari itu, diterbitkannya Perppu tersebut diharapkan bisa mengisi kepastian hukum.
“Oleh karena itu, ini menjadi penting, kepastian hukum untuk diadakan sehingga tentunya dengan keluarnya Perppu No. 2/2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi,” jelasnya.
Salah satu yang menyoroti Perppu Cipta Kerja adalah Partai Buruh KSPI. Beberapa poin yang disoroti di antaranya terkait upah minimum, outsourcing, pesangon, hingga Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Baca Juga
Upah Minimum
Dalam pasal 88C ayat (2) pada Bab IV Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai, penggunaan kata ‘dapat’ dalam ayat (2) dapat berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur.
Para buruh mengusulkan untuk meniadakan kata ‘dapat’ sehingga menjadi Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Pasal 88D ayat (2) yang berbunyi “Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu” juga menuai kritik dari Partai Buruh. Pasalnya, jelas Iqbal, dalam hukum ketenagakerjaan tak pernah mengenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.
“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker Nomor 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampai 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” kata Iqbal dalam keterangan resmi, dikutip Senin (2/1/2023).
Pasal lain yang juga mendapatkan penolakan adalah adanya pasal 88F. Pasal tersebut berbunyi “Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Menurutnya, pasal 88F seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah sehingga seenaknya mengubah-ubah aturan. Selain itu, terkait upah minimum sektoral dihilangkan dalam Perppu Cipta Kerja.
Outsourcing atau Alih Daya
Dalam Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, pasal 64 dan 65 dihapus, sementara ada beberapa perubahan dalam pasal 66. Namun pada Perppu Cipta Kerja, tercantum pasal 64 dimana pada ayat (1) mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
“Prinsipnya, alih daya diperbolehkan oleh Perppu, sehingga tidak ada bedanya, meski ada ruang dialog,” ujarnya.
Selain itu pada ayat (3) yang menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Iqbal menilai, aturan tersebut semakin tidak jelas lantaran semakin menegaskan bahwa semua pekerjaan bisa di outsourcing. Dia bahkan mempertanyakan apa ukurannya jika diserahkan kepada peraturan pemerintah. Iqbal khawatir, pemerintah justru akan semena-mena dalam menetapkan aturan terkait outsourcing.
Pesangon
Iqbal menuturkan, dalam Perppu tak ada perubahan terkait pesangon. Untuk itu, para buruh berharap aturan mengenai pesangon kembali pada UU Nomor 13/2003. Kemudian, jika upah di tingkat manajer atau direksi terlalu tinggi, bisa dibuat Batasan 4 PTK.
Pasal 157 | |
---|---|
UU Nomor 13/2003 | Perppu Nomor 2/2022 |
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. | (3) Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, Upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. |
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir. | (4) Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari Upah minimum, Upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah Upah minimum yang berlaku di wilayah domisili Perusahaan. |