Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah masih belum mempublikasikan draf maupun dokumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Publik pun belum mengetahui isi dari aturan yang mengundang kontroversi tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggelar konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta pada Jumat (30/12/2022). Mereka mengumumkan bahwa Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja.
Publik kemudian mempertanyakan dokumen yang Jokowi tetapkan itu, karena menjadi pengganti Undang-Undang Nomor 10/2022 tentang Cipta Kerja. Namun, publik tidak kunjung menemukan draf maupun dokumen resmi Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Bisnis kembali memeriksa situs Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Sekretariat Negara pada Sabtu (31/12/2022) sore dan belum terdapat unggahan dokumen Perppu tersebut. Unggahan terakhir merupakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2022 tentang Penambahan PMN ke PT Hutama Karya (Persero).
Dokumen Perppu Cipta Kerja juga tidak ditemukan di portal JDIH Nasional, JDIH Kementerian Hukum dan HAM, serta JDIH Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memuat berbagai dokumen peraturan dengan cukup lengkap.
Bisnis juga bertanya kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait draf atau dokumen Perppu Cipta Kerja. Namun, beberapa menjawab belum memiliki dokumen tersebut dan lainnya bahkan baru mengetahui pemerintah menerbitkan Perppu itu.
Baca Juga
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai bahwa penerbitan Perppu 2/2022 menunjukkan pola pikir pemerintah yang pro-pengusaha. Perppu itu pun menunjukkan sikap pemerintah yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan malah terus menjalankan kepentingan UU Cipta Kerja.
"Ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Paling tidak dari segi hukum ada dua kesalahan," kata Bivitri saat dihubungi Bisnis, Jumat (30/12/2022).
Menurutnya, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu Inkonstitusional bersyarat untuk dua tahun. Menurut Bivitri, hal tersebut berarti UU Cipta Kerja tidak bisa dilaksanakan dan tidak punya daya ikat.
Bivitri juga menilai bahwa tidak ada urgensi pemerintah untuk menerbitkan Perppu tersebut karena saat ini adalah masa liburan akhir tahun dan masa reses DPR. Menurutnya, aturan itu justru menunjukkan keinginan Jokowi untuk mengambil jalan pintas agar keputusan politik pro pengusaha dapat segera terbit.
"Menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi," ujar Bivitri.
Sebelumnya, Airlangga menyebut bahwa terdapat kebutuhan yang mendesak bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja karena ketidakpastian ekonomi global yang tinggi pada 2022.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi. Kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," ujar Airlangga.
Dalam 'kondisi mendesak' itu, pemerintah justru meningkatkan target realisasi investasi pada 2023 menjadi Rp1.400 triliun. Menurut Airlangga, perlu terdapat kepastian bagi pengusaha terkait status UU Cipta Kerja.