Bisnis.com, JAKARTA - Tahun kedua pandemi Covid-19 seharusnya bisa menjadi momentum sektor penerbangan untuk 'lepas landas' usai mengalami turbulensi hebat sejak 2020.
Dua tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang di Bandara Soekarno-Hatta hanya 16,2 juta orang. Realisasi ini jauh di bawah kondisi normal yang bisa menembus 60 juta penumpang per tahun.
Pada 2021, bandara berkode CGK tersebut hanya mengalami pertumbuhan penumpang yang tipis yakni hanya 9,2 persen atau melayani sebesar 17,7 juta orang. Padahal, bandara tersebut merupakan salah satu yang tersibuk di Indonesia.
Setahun kemudian, seiring dengan kasus positif Covid-19 yang mulai melandai, pemerintah berani untuk memperbolehkan masyarakat mudik saat Idulfitri. Kebijakan tersebut menjadi faktor krusial bagi sektor penerbangan untuk mengakselerasi kinerjanya.
Alhasil, jumlah pergerakan penumpang pada periode Januari-September 2022 di bandara yang dikelola PT Angkasa Pura II (AP II) melonjak 115,3 persen secara tahunan menjadi 44,03 juta orang.
Pertumbuhan juga terjadi jika dilihat dari data per kuartal, yakni dari 11,85 juta penumpang pada kuartal I/2022, 16,01 juta penumpang pada kuartal II/2022, dan 16,16 juta penumpang pada kuartal III/2022.
Baca Juga
Sementara itu, PT Angkasa Pura I (AP I) mencatat adanya tren jumlah penumpang di atas 4 juta orang per bulan sejak Mei 2022. Pada periode Januari hingga Oktober 2022, pengelola bandara tersebut telah melayani sebanyak 41,8 juta penumpang.
Direktur Utama AP I Faik Fahmi menuturkan jumlah penumpang di 15 bandara pada periode yang sama pada 2021 hanya 21,4 juta orang. Realisasi tersebut membuatnya optimistis untuk menetapkan target 50 juta penumpang hingga akhir tahun ini, lebih tinggi ketimbang Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) semula sebanyak 38 juta penumpang.
Sayangnya, momentum pertumbuhan jumlah penumpang ini tidak bisa diimbangi dengan ketersediaan jumlah pesawat sebagai alat produksi. Pandemi membuat kondisi maskapai berdarah-darah, bahkan PT Garuda Indonesia Tbk. harus menempuh jalur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk bisa mengurai beban perusahaannya.
Pengurangan pesawat dan rute menjadi salah satu upaya logis yang harus dilakukan maskapai agar bisa bertahan saat pandemi. Ketika pandemi mulai mereda, ternyata tidak mudah untuk bisa mengembalikan seperti pada kondisi semula.
Garuda Indonesia yang semula mengoperasikan 140 unit pesawat pada 2019, jumlahnya terus menurun menjadi 71 unit pada Januari 2021, dan 33 unit pada akhir 2021.
Pada awal 2022, sempat menerbangkan hanya 29 unit pesawat, tetapi jelang akhir tahun ini berencana mengoperasikan 50-60 unit pesawat untuk periode Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Kemampuan emiten berkode GIAA ini makin optimal usai mendapatkan kucuran dana Penyertaan Modal Negara (PMN) hingga Rp7,5 triliun. Modal tersebut akan digunakan untuk mendukung percepatan pemulihan kinerja maskapai.
Pemulihan akan difokuskan pada operasional penerbangan melalui program restorasi armada, pemeliharaan spare part pesawat dan berbagai komponen pesawat lainnya, serta penyehatan arus kas perusahaan.
Masalah keterbatasan kapasitas penerbangan menjadi perhatian pemerintah yang mengizinkan Pelita Air Services untuk mengudara pada 28 April 2022. Maskapai anak usaha PT Pertamina tersebut berencana menerbangkan hingga 18 unit pesawat.
Maskapai dengan jenis medium service ini tercatat sudah melayani tiga rute penerbangan, yakni Jakarta-Bali PP, Jakarta-Yogyakarta PP, dan Jakarta-Surabaya PP.
Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan menargetkan tingkat keterisian penumpang atau seat load factor bisa mencapai 65 persen. Fokus utama maskapai, sesuai dengan arahan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham, untuk terbang di rute domestik, selain kemungkinan melayani haji dan umrah.
Namun demikian, permasalahan defisit pesawat sempat disuarakan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR. Indonesia masih mengalami kekurangan pesawat hingga 200 unit setelah pandemi Covid-19.
Erick membandingkan kebutuhan pesawat Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Total armada pesawat yang ada di AS mencapai 7.500 unit pesawat dengan Produk Domestik Bruto (PDB) US$10.000 dan total penduduk 603 juta jiwa.
Dia memperkirakan apabila Indonesia memiliki PDB US$4.000, maka kebutuhan pesawat mencapai 750 unit. Adapun, pesawat yang beroperasi di Tanah Air masih 550 unit.
Hal berbeda justru disuarakan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menyebut tingkat pemulihan penerbangan domestik pada tahun ini telah mencapai 74,41 persen dibandingkan dengan pada 2019. Sementara untuk perkembangan penumpang penerbangan berjadwal internasional pada 2022 mencapai tingkat pemulihan sebesar 44,66 persen.
Pemulihan penerbangan tersebut bakal didorong oleh proyeksi jumlah penumpang saat Nataru yang mencapai 3,16 juta orang. Prognosa optimis total penumpang tersebut terdiri atas 2,70 juta penumpang angkutan dalam negeri dan sebanyak 456.185 penumpang angkutan luar negeri.