Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Belanja Perpajakan Melonjak 23,8 Persen, Nyaris Tembus Rp300 Triliun

Kementerian Keuangan mencatat belanja perpajakan pada 2021 melonjak 23,8 persen. Nilainya hampir tembus Rp300 triliun.
Layar menampilkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu (kiri) dan General Manager Konten Bisnis Indonesia Hendri T. Asworo saat sesi diskusi Badan Kebijakan Fiskal dengan redaksi Bisnis Indonesia secara daring di Jakarta, Rabu (21/12/2022). JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Layar menampilkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu (kiri) dan General Manager Konten Bisnis Indonesia Hendri T. Asworo saat sesi diskusi Badan Kebijakan Fiskal dengan redaksi Bisnis Indonesia secara daring di Jakarta, Rabu (21/12/2022). JIBI/Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan mencatat belanja perpajakan pada 2021 mencapai Rp299,1 triliun atau sebesar 1,76 persen dari PDB. Nilai tersebut meningkat 23,8 persen jika dibandingkan dengan belanja perpajakan pada 2020 yang tercatat sebesar Rp241,6 triliun atau mencapai 1,56 persen dari PDB.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan bahwa naiknya belanja perpajakan pada 2021 terjadi seiring dengan peningkatan pemanfaatan fasilitas akibat semakin pulihnya perekonomian dan penambahan insentif dalam rangka penanggulangan dampak Covid-19 yang baru berlaku pada 2021.

“Melihat perekonomian tahun 2020 terkontraksi dalam, Pemerintah memberikan insentif perpajakan yang lebih besar di tahun 2021 untuk mendorong pemulihan. Kebijakan insentif ini dilakukan dengan lebih terarah dan terukur untuk merespons kondisi pandemi yang dinamis serta mendukung upaya akselerasi transformasi ekonomi,” katanya dalam siaran pers, Senin (26/12/2022).

Febrio menjelaskan, berdasarkan jenis pajaknya, belanja perpajakan terbesar untuk tahun 2021 adalah PPN dan PPnBM, yang mencapai Rp175,0 triliun atau 58,5 persen dari total estimasi belanja perpajakan.

Jumlah tersebut meningkat 24,2 persen dibandingkan dengan belanja perpajakan tahun 2020, seiring dengan pemanfaatan insentif dalam rangka penanggulangan dampak pandemi Covid-19 seperti fasilitas PPN dan Bea Masuk untuk kegiatan penanganan Covid-19 termasuk impor pengadaan vaksin.

“Selain itu semakin pulihnya perekonomian nasional mendorong peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi, sehingga pemanfaatan insentif perpajakan yang mendukung kegiatan tersebut juga semakin tinggi,” jela Febrio.

Berdasarkan pemanfaatannya, imbuhnya, nilai estimasi belanja perpajakan pada 2021 yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan UMKM mencapai Rp229,0 triliun atau sebesar 76,5 persen terhadap total belanja perpajakan.

Belanja perpajakan tersebut sebagian besar berupa pengecualian barang dan jasa kena pajak seperti bahan kebutuhan pokok, jasa angkutan umum, serta jasa pendidikan dan kesehatan, yang ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Selanjutnya, terdapat fasilitas PPN tidak dipungut untuk pengusaha kecil dan fasilitas PPh final untuk UMKM yang mendukung pertumbuhan industri UMKM tanah air.

Febrio mengatakan, perekonomian Indonesia pada 2021 masih dihadapkan pada tantangan utama pandemi Covid-19 yang pada saat itu memasuki tahun kedua. Meski terjadi pemulihan seiring dengan pelaksanaan program vaksinasi Covid-19, terjadi dua puncak gelombang kasus Covid-19, di mana salah satunya adalah gelombang delta yang berdampak sangat signifikan pada kesehatan masyarakat dan perekonomian.

Sejalan dengan kebijakan APBN, insentif perpajakan kata dia juga diarahkan untuk memberikan bantalan bagi perekonomian untuk mencegah kontraksi yang lebih dalam sekaligus mendukung percepatan pemulihan.

Sebagaimana terintegrasi dengan kebijakan penanggulangan dampak pandemi lainnya dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional, secara umum insentif pajak 2021 ditujukan untuk percepatan dan penguatan pengadaan kebutuhan medis penanganan pandemi, relaksasi cash flow pelaku usaha yang masih terdampak pandemi, mendorong percepatan pemulihan sektor potensial dan strategis, serta implementasi keberlanjutan reformasi struktural dan percepatan transformasi perekonomian.

Pada tahun 2022 dan ke depan, Febrio menyampaikan, tantangan pembangunan ekonomi nasional mengalami pergeseran dari semula pandemi Covid-19 menjadi gejolak perekonomian global yang diperparah oleh perang di Ukraina dan meningkatnya tensi geopolitik.

Kebijakan insentif perpajakan pada 2022 dan ke depan tentunya diarahkan untuk menjawab berbagai tantangan baru tersebut. Kebijakan insentif perpajakan juga akan dioptimalkan untuk mendukung akselerasi transformasi perekonomian dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Pada 2023, reformasi belanja APBN pun akan dijalankan dengan peningkatan kualitas belanja yang ditempuh melalui pengendalian belanja yang lebih efisien, lebih produktif, dan menghasilkan multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian, serta efektif untuk mendukung program-program pembangunan prioritas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Belanja perpajakan pun diharapkan dapat memiliki multiplier effect yang besar serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan UMKM,” kata Febrio.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper