Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani Terbitkan Senjata Baru Periksa Kejahatan Perpajakan, Begini Rinciannya

Ada sejumlah poin tambahan yang diatur melalui peraturan Kementerian Keuangan yang akan berlaku pada 3 Februari 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan usai acara malam Apresiasi G20 Indonesia di Hotel Fairmont, Selasa (20/12/2022). JIBI/Ni Luh Anggela.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan usai acara malam Apresiasi G20 Indonesia di Hotel Fairmont, Selasa (20/12/2022). JIBI/Ni Luh Anggela.

Bisnis.com, JAKARTA  — Kementerian Keuangan punya senjata baru untuk menelusuri kejahatan terkait perpajakan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Aturan tersebut mulai berlaku 60 hari sejak tanggal diundangkan atau 5 Desember 2022 yaitu 3 Februari 2023. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor menjelaskan, PMK Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan perlu diganti untuk melaksanakan pasal 43A Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diubah dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) guna lebih berkepastian hukum.

“Di dalam peraturan tersebut, beberapa ketentuan bersifat menambah ketentuan yang sudah ada,” kata Neil dalam siaran pers, dikutip Jumat (23/12/2022).

Setidaknya terdapat lima poin yang ditambahkan dalam PMK Nomor 177/PMK.03/2022. Pertama, ketentuan pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper (bukti permulaan) disampaikan paling lama satu bulan sebelum jangka waktu pemeriksaan bukper berakhir.

“Ketentuan ini sebelumnya tidak ada,” ujarnya.

Kedua, dalam rangka upaya ultimum remedium untuk memulihkan kerugian negara, meskipun telah terbit Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, wajib pajak tetap bisa mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan syarat mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum, dan terhadap pengungkapan tersebut diterbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut pemeriksaan bukper.

Ketiga, menambahkan pada ketentuan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang harus melampirkan Surat Setoran Pajak atau sarana lain, keterangan saksi berupa denda sesuai pasal 8 ayat 3 UU KUP, yaitu 100 persen dari jumlah pajak kurang dibayar atau lebih kecil dari aturan sebelumnya yaitu 150 persen dari pajak kurang dibayar.

Selanjutnya, menegaskan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) dianggap tidak disampaikan, jika SPT yang dilaporkan dan/atau dibetulkan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukper disampaikan.

Terakhir, menegaskan pendelegasian wewenang dari Direktur Jenderal Pajak kepada Unit Pelaksana Penegakan Hukum atau Pejabat Administrator untuk beberapa hal, seperti menerbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan, dan lain-lain.

Lebih lanjut Neil menyampaikan, terdapat pula aturan yang sifatnya mengubah atau menyesuaikan ketentuan yang ada. Pertama, untuk efisiensi waktu, jangka waktu perpanjangan pemeriksaan bukper diubah menjadi paling lama 12 bulan, yang mana sebelumnya 24 bulan.

Kedua, menyesuaikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dapat dilakukan atas pasal 38 atau 39 ayat 1 huruf c atau d UU KUP, baik yang berdiri sendiri, atau berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Ini seperti pasal 39 ayat 1 kecuali huruf c dan d, pasal 39 ayat 3, pasal 39A, dan pasal 43 UU KUP serta pasal 24 dan pasal 25 UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

Ketiga, pemeriksaan bukper dapat dilakukan berdasarkan pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain, yakni kegiatan pengawasan, pemeriksaan, pengembangan Pemeriksaan Bukper, atau pengembangan penyidikan, dengan hasil berupa laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukper.

“Keempat, pemberitahuan Pemeriksaan Bukper dan pemberitahuan terkait lainnya harus disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper, bukan kuasa,” jelasnya.

Kelima, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran yang tidak sesuai keadaan sebenarnya diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada saat penyidikam sebesar setengah bagian dari jumlah pembayaran. Ini dilakukan untuk menyesuaikan perubahan sanksi administrasi pengungkapan ketidakbenaran menjadi 100 persen. Adapun di aturan sebelumnya diatur dua per lima bagian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper