Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dinilai sulit terjadi sebelum 2025 karena adanya tekanan politik menjelang pemilihan umum (pemilu) pada 2024 mendatang. Pemerintah pun perlu mencari cara lain untuk mengoptimalkan penerimaan, seperti dengan ekstensifikasi pajak.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan bahwa dari berbagai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kenaikan tarif PPN paling terbukti meningkatkan penerimaan pajak.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa tambahan penerimaan pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen, yang berlaku sejak Juli 2022, telah mencapai Rp43,4 triliun. Penambahan bulanan terbesar ada pada Oktober 2022, yakni Rp7,62 triliun.
UU HPP memberikan ruang bagi pemerintah untuk kembali menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen sebelum 2025. Fajry menilai bahwa opsi itu sebenarnya langkah yang baik bagi penerimaan negara.
“Dari semua poin dalam UU HPP, kenaikan tarif PPN ini kan yang terbukti secara langsung mampu meningkatkan penerimaan. Siapapun yang memimpin, pasti tergoda punya anggaran yang lebih besar [dari tambahan penerimaan],” ujar Fajry kepada Bisnis, Minggu (4/12/2022).
Meskipun begitu, Fajry menilai bahwa kenaikan PPN sebelum 2025 sulit terjadi. Tekanan politik menjadi penyebab utamanya, karena hingga 2024 pemerintah maupun politisi akan menghindari kebijakan yang tidak populis.
Baca Juga
Bagaimana tidak, kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan harga jual barang di tingkat konsumen atau mengurangi margin pelaku usaha jika harga jua tidak naik. Sedangkan, secara historis, pemerintah selalu apik menjaga harga-harga barang pada tahun politik.
“Sulit. Boleh dibilang hampir tidak mungkin [PPN naik sebelum 2025], mengingat kenaikan tarif PPN bukanlah hal yang populis. Kita ketahui sendiri, tahun ini saja suasana pemilu sudah terasa. Tekanan politik akan begitu kuat,” katanya.
Secara teori, kenaikan tarif PPN sebelum 2025 masih memungkinkan karena UU HPP memperbolehkannya. Namun, dari sisi politik, Fajry menilai bahwa hal itu akan sulit tercapai.
“Kalau pasca pemilu, dimungkinkan sekali, karena tekanan politik tersebut sudah tak ada,” katanya.