Bisnis.com, BADUNG - Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan dalam dunia yang sedang dihadapkan dengan krisis geopolitik antara Rusia-Ukraina yang menyebabkan ancaman krisis energi, pangan dan dalam situasi pemulihan ekonomi pascapandemi, butuh sistem ekonomi yang lebih adil, inklusif dan berkelanjutan.
“Saat ini membangun investasi yang berkelanjutan sudah menjadi konsensus global untuk menciptakan industrialisasi yang ramah lingkungan dengan menggunakan energi baru terbarukan,” ujarnya saat membuka sesi Investing In Green Ventures For Sustainable Growth, B20 Summit, Minggu (13/11/2022).
Langkah Kadin Indonesia yang menginisiasi forum penting untuk mencari solusi terbaik terkait skema investasi yang adil dan inklusif, kata Bahlil, sudah tepat.
Bahlil mengatakan pemerintah terus berkomitmen membangun industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan sumber daya EBT sebagai kontribusi Indonesia kepada komunitas global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca demi kelestarian lingkungan.
“Pemerintah menerbitkan regulasi dan kebijakan, namun yang akan mengimplementasikannya pastinya sektor swasta. Untuk itu, ada peran yang lebih luas dari sektor swasta dengan ikut mendorong terciptanya investasi berkelanjutan yang ramah lingkungan dan bagaimana kita dapat berkolaborasi mencapai tujuan target net zero emissions,” tambah Bahlil
Mendorong sistem investasi yang lebih adil dan inklusif menurut Bahlil perlu karena saat ini banyak negara maju yang menggunakan standar ganda mengenai investasi hijau dan juga skema transisi energi terutama soal karbon.
Baca Juga
“Dalam pertemuan menteri investasi di seluruh negara G20, terjadi perdebatan sengit. Kami mengajukan 5 poin. Pertama hilirisasi. Kedua kolaborasi UMKM dengan pengusaha daerah. Ketiga, keadilan alur investasi hijau. Keempat harga karbon dan kelima Bali Compendium. Awalnya mereka tidak setuju soal hilirisasi dan Bali Compendium,” kata Bahlil
Negara-negara yang sudah maju , kata Bahlil tidak setuju dengan hilirisasi Indonesia, namun mereka menikmati harga karbon yang tinggi. Selain itu, alur investasi hijau negara-negara berkembang itu cuma satu perlima dari total anggaran investasi tambah Bahlil.
“Jadi bagaimana mungkin kita bicara mencapai Net Zero Emissions yang masif kalau alur investasinya tidak adil. Standar mereka ganda, negara-negara maju harga karbonnya bisa 100 US dolar per metrik ton. Sementara negara-negara berkembang awalnya 10-30 US dolar. Harus pada titik temu biar capaian kita sama,” kata Bahlil.
Namun kini, kata Bahlil, untuk hilirisasi saat ini sudah mencapai kesepahaman bahwa negara-negara berkembang juga diberikan ruang untuk melakukan hilirisasi yang berorientasi pada nilai tambah.
Indonesia meminta dukungan dari negara-negara berkembang yang tergabung dalam G20 seperti Argentina, Brasil, Afrika Selatan, dan India yang juga memiliki sumber daya alam melimpah.
Dukungan ini akan diperkuat dengan kesepakatan Bali Compendium atau Bali Kompendium yang bakal menjadi acuan kebijakan di masing-masing negara dalam merancang dan melaksanakan strategi untuk menarik investasi berkelanjutan, termasuk hilirisasi.